Mohon tunggu...
Hendrie Santio
Hendrie Santio Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Serabutan

Seorang Serabutan yang mencoba memaknai hidup

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Mengenal Franchising dalam Kompetisi Esports dari Kontroversi 15 Miliar Slot MPL

6 Juli 2019   18:50 Diperbarui: 6 Juli 2019   18:56 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
E-Sport. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jamie McInall

Bagi yang sudah akrab dengan liga sepakbola dalam dan luar negeri tentu sudah tidak asing dengan sistem promosi dan degradasi dalam suatu liga. Adanya ganjaran bagi tim-tim yang gagal menampilkan performa bagus selama satu putaran musim akan didegradasi atau diturunkan menuju satu tingkat liga di bawahnya. 

Bagi tim yang terdegradasi, kerugian tidak hanya berasal dari kehilangan status prestise berlaga di kasta liga profesional saja namun juga kehilangan potensi finansial berupa uang hasil komersialisasi dari liga tersebut misalnya seperti pendapatan sponsor, hak siar, dan branding yang dibangun dengan susah payah. 

Melihat resiko besar yang menanti klub-klub sepakbola tersebut tak ayal menjadikan klub-klub sepakbola Eropa sebagai sebuah investasi yang amat tidak menentu. Lain di Eropa lain di Amerika Serikat, kultur industri olahraga di Amerika Serikat lebih condong untuk menggunakan sistem Franchise. 

Franchise di sini berupa hak suatu tim olahraga untuk dapat tetap berkompetisi di liga tertentu secara permanen selama masih mengikatkan diri dengan kontrak yang berlaku. Tentu saja poin utama dari sistem Franchise ini yaitu tidak adanya sistem promosi-degradasi, hal ini karena untuk mendapatkan hak kontrak Franchise tersebut, sebuah tim harus mengeluarkan dana untuk mendapatkan slot atau hak partisipasi di kompetisi tertentu.  

Kultur Franchising ini begitu mendedap dalam benak masyarakat Amerika Serikat sebagai konsumen industri olahraga, faktanya hampir seluruh kompetisi olahraga populer di Amerika menggunakan sistem ini baik olahraga nasional seperti Baseball, Bola Basket, American Football, Hoki es hingga olahraga "impor" sepakbola.

Franchise di Esports : League of Legends dan Overwatch

Masuk ke era popularitas esports, sistem Franchising justru baru diadopsi belakangan. Adalah League of Legends yang memulai era esports berformat liga. Sempat berkutat selama lebih dari 4 tahun menggunakan sistem liga terbuka, Riot Games memutuskan untuk mengubah haluan kompetisi dengan masuk ke sistem Franchise dengan alasan karena sistem terbuka dianggap tidak ramah terhadap investor. 

Dengan harga slot mencapai 20 juta dollar atau sekitar 282 milliar rupiah, tim yang berminat dapat mengajukan penawaran untuk kemudian menjalani proses verifikasi. 

Tim yang terpilih akan berkompetisi di liga profesional secara permanen hingga adanya pengalihan kepemilikan. Ditopang tingginya animo para penggemar esports dan proyeksi ekonomi di sektor gaming yang menjanjikan, LCS atau League of Legends Championship Series sebagai nama resmi kompetisi profesional menawarkan pembagian keuntungan dari sponsor dan monetisasi fans bagi tim-tim yang berlaga tanpa khawatir terpental (terdegradasi) dari liga betapapun buruknya performa sang tim di musim tersebut. 

Sistem Franchising di LCS sendiri berhasil mendatangkan investor-investor non endemik seperti tim basket NBA Golden State Warriors, Houston Rockets, dan Cleveland Cavaliers. 

Sementara gim Overwatch langsung mengaplikasikan format franchise untuk kompetisi profesionalnya, Overwatch League atau OWL. Menariknya, OWL menawarkan konsep home away layaknya liga olahraga pada umumnya dimana setiap tim yang berpartisipasi harus memiliki "kandang" atau arena di kota tempat tim bernaung. tim-tim peserta OWL sendiri tersebar di Amerika hingga ke Tiongkok dan berhasil menarik minat taipan macam Robert Kraft pemilik New England Patriots, salah satu peserta NFL.  

Kontroversi harga slot 15 Miliar Rupiah MPL

Di Indonesia dengan ekosistem esports yang belum cukup matang, Munculnya Mobile Legends yang menjelma menjadi game sejuta umat di tanah air turut membidani lahirnya era profesionalitas kompetisi esports di Indonesia. Lahirnya Mobile Legends Profesional League menjadi acuan model kompetisi esports yang sejalan dengan visi industrialisasi esports yang menggabungkan stakeholder fans, pemilik tim, dan para pemain profesional. 

Kemunculan MPL turut mendorong baik kemunculan organisasi-organisasi esports yang dikelola dengan manajemen profesional layaknya klub olahraga profesional maupun popularitas tim-tim profesional yang sudah lebih dahulu berdiri, Sebut saja Rex Regum Qeon yang boleh dibilang mendapatkan banyak engagement dengan fans esports Indonesia setelah lama malang melintang  melalui Mobile Legends atau tim-tim baru seperti Onic, Louvre dan Star8 yang menjadikan Mobile Legends sebagai fokus utama.

 Namun kemesraan tim-tim esports Indonesia dengan Mobile Legends terancam bubar.  Berawal dari pernyataan Bos Louvre Esports, Erick Herlangga yang membocorkan pertama kali ada perubahan format kompetisi MPL di musim keempatnya nanti, dimana biasanya tim yang berlaga cukup mengikuti kualifikasi terbuka atau predikat 4 besar dari musim sebelumnya kini harus membayar dana sebesar 15 Miliar kepada Moonton Inc. selaku penyelenggara. 

Ide pay to play ini ditentang oleh sang bos Louvre dengan mengutip sejumlah alasan mulai dari kekhawatiran pergeseran orientasi pemain menjadi lebih materialistik hingga kehilangan kesempatan membela nama Indonesia di ajang multievent. 

Sebagai catatan, perubahan sistem Franchise ini juga dibarengi dengan kontrol properti Moonton yang lebih ketat, ajang penyaringan timnas SEA Games untuk Mobile Legends yang diselenggarakan kemenpora misalnya mendapat teguran lantaran menggunakan properti intelektual berupa logo Mobile Legends. 

Dari segi finansial, biaya hak tanding tersebut juga harus linier dengan proyeksi keuntungan yang didapat tim partisipan seperti pembagian keuntungan liga dari para sponsor. Adanya expectation gap antara biaya mendaftar yang harus dikeluarkan dengan proporsi profit yang bakal didapat organisasi tak ayal membuat keberatan Bos Louvre mendapat justifikasi.

Ide Franchising ini juga  mendapat sambutan yang kurang baik  alih-alih ide ini banyak dicibir lantaran publik esports Indonesia memang tidak begitu akrab dengan sistem ini, terutama dikait-kaitkan dengan prizepool atau hadiah pemenang MPL yang "hanya" berkisar 100 ribu dollar. Namun tidak semua menyuarakan nada sumbang terkait sistem Franchise ini. CEO RRQ Andrian Pauline atau yang biasa dipanggil AP cukup memandang positif format ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun