Mohon tunggu...
Hendrie Santio
Hendrie Santio Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Serabutan

Seorang Serabutan yang mencoba memaknai hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Percayalah, Ketimpangan Tidak Mengenal Suku, Agama, dan Ras

3 September 2019   20:07 Diperbarui: 3 September 2019   20:24 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketimpangan menjadi kata yang tepat untuk menerangkan sebab musabab kemarahan orang-orang beberapa hari ini. Di Hongkong, kota yang menjadi indikator ekonomi dunia bisa lumpuh akibat demo berminggu-minggu, menegaskan muaknya para kaum 2millenial terhadap ketamakan para konglomerat dan pemerintah yang memiliki kuasa mengatrol harga properti di sana. 

Sementara di tanah air,  beberapa saudara kita di tanah Papua sedang membara hatinya karena peristiwa rasisme oleh sekelompok oknum terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang juga tersulut persepsi ketimpangan di sana. Intinya perasaan timpang dibanding pihak yang lain menghasilkan berbagai persepsi seperti diperlakukan tidak adil, terdiskrimnasi, hingga hidup sebagai objek cibiran. 

Apabila anda pernah menyaksikan film Parasite , film asal Korea Selatan karya Sutradara Bong Joon ho, anda dapat melihat jelas bahwa bagaimana ketimpangan sosial dalam film mengakibatkan dua sisi psikologis yang kontras. Yang kelas atas cenderung tuli terhadap realita kelas sosial di bawahnya dan yang kelas bawah cenderung mendendam terhadap nasibnya dan kelas atas sekaligus. 

Anggap cerita dalam film ini adalah gambaran realita masyarakat kita dan taruhlah bahwa mereka yang aktif di media sosial mengeluhkan segala sesuatu bukan merupakan bagian dari 1% kelompok ekonomi teratas, maka kita akan mendapati bahwa mereka yang banyak mengeluhkan kemarahan mereka tentang ketimpangan seringkali melabelkan realita ini dengan eksistensi kelompok etnis tertentu.

 Ya sejak era penerbitan peraturan presiden no 10 tahun 1959 hingga kerusuhan Mei'98, etnis Tionghoa baik dari kalangan pemain ekonomi besar hingga kelas menengah bawah menjadi sasaran tembak penyebab ketimpangan dari beberapa bagian masyarakat. Tak pelak Pilkada DKI yang melibatkan kehadiran etnis Tionghoa di kancah politik tingkat tinggi juga tak luput dari isu ketimpangan yang didikotomi antara Tionghoa vs Non-Tionghoa, terlepas dari penyebab demo besar terhadap Pak Basuki kala itu.

Padahal isu ketimpangan tidak dibisa didaras sesederhana pertikaian antara dua kelompok identitas saja. Banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa banyak konglomerat seperti Sudono Salim begitu leluasa menjalankan bisnisnya di era orde baru yang sangat membatasi gerak-gerik kaum Tionghoa seperti terkait alasan pendanaan Golongan Karya yang menjadi pemegang saham terbesar pemerintahan Soeharto selama orde baru. 

Isu ketimpangan dengan bumbu SARA ini sendiri memiliki latar belakang sejarah yang teramat panjang, yang bisa ditarik sejak peristiwa Kali Angke pada tahun 1740 hingga upaya asimilasi paksa terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1967. Sepanjang lini masa peristiwa-peristiwa di atas dapat ditarik satu benang merah yaitu upaya memecah belah kelompok Tionghoa dan penduduk asli yang merupakan warisan politik divide et impera milik para penguasa kolonial. 

Beberapa contoh politik pecah belah dalam sejarah bisa ditelusuri ketika pada tahun 1926 pemerintah Belanda mengadakan penggolongan atau segregasi identitas yang disertai dengan pemberlakuan diskriminasi ekonomi, atau bagaimana Orde Baru melarang segala hal yang berbau etnik Tionghoa dengan alasan untuk menghilangkan persepsi tidak wajar oleh mayoritas, melucuti segala identitas ketionghoaan yang tersisa, hingga melarang total etnis Tionghoa masuk ke pemerintahan. Buah dari tindakan politik macam ini melahirkan prasangka dan kebencian yang dapat meledak seperti bom waktu. 

Meluruskan berbagai persepsi ketimpangan yang terdikotomi menjadi persaingan kelas antara dua kelompok identitas yang berbeda ini, Saya ingin mengatakan bahwa uang tidak mengenal ras. Uang tidak mengenal suku bangsa, agama, atau apapun bentuk identitas manusianya. Sebagai WNI keturunan, sedih rasanya ikut mendapat kebencian dari beberapa kelompok orang walaupun saya yakin sepertinya kemampuan finansial saya rasanya tidak begitu jauh dengan mereka.

Saya dan keluarga inti saya pernah merasakan bagaimana diabaikan oleh keluarga besar karena ketimpangan ini, namun yang pasti bukan karena perbedaan etnis penyebabnya. Bahkan keberhasilan seorang Sandiaga Uno yang dianggap beberapa pemujanya sebagai simbol "anti kapitalisasi aseng" tidak bisa lepas dari kawannya Erwin Tanudjaya anak dari salah seorang pemilik perusahaan Astra, perusahaan yang dianggap bagian dari konspirasi "9 naga" , kata mereka. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun