Yuda lalu bercerita, "Namanya Any juga, dia teman Candra, aku sering menggodanya saat dia mengerjakan tugas kelompok di rumah. Orangnya lugu. Dia tinggal gak jauh dari kita. Aku sering melihatnya, makanya sering aku goda." Yuda terdiam.
"Lalu, bagaimana mungkin kamu melakukannya jika tanpa cinta?"Â
Pertanyaan Any langsung disangkal Yuda.
"Jangan tanyakan itu, Any. Aku tak sanggup menjawabnya. Yang pasti aku telah berdosa. Maafkan aku."
Beberapa saat suasana jadi hening. Dua anak manusia itu saling menahan diri untuk berucap. Mereka sibuk dengan perasaan dan pikiran masing-masing.
"Ya sudahlah, semua telah terjadi. Kamu pun telah mengakui perbuatanmu. Jadilah lelaki yang gentle, mau bertanggung jawab atas semua perbuatan."
"Kamu bagaimana, Any?" Tatapan mata Yuda membuat Any yakin, bahwa lelaki itu masih menyimpan cinta untuknya.
"Jangan risaukan aku, cinta tak harus saling memiliki, bukan? Nikahi dia. Mungkin dia yang lebih baik buatmu. Bukan aku."
"Tapi Any, keluargaku lebih memilih kamu. Kamu yang terbaik di mata mereka." Suara Yuda terdengar merengek seperti anak kecil.
"Kita bisa bersahabat. Dan itu akan lebih baik. Kamu bisa datang kapan saja. Aku akan selalu ada."Â
Sebuah senyum manis Any hadiahkan untuk Yuda. Meski dalam hatinya hancur, tetapi gadis itu lega. Mungkin dia memang telah kehilangan kesempatan memiliki Yuda. Namun, dia bangga bisa melihat orang yang dia cintai bisa bahagia. Walau itu bukan bersamanya.
(Bersambung)