Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jangan Paksakan Cinta

29 Februari 2020   07:04 Diperbarui: 22 April 2020   15:54 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan Paksakan Cinta

Terik mentari yang menyengat membuat Dinda malas untuk beranjak dari kantin. Sudah tiga puluh menit dia menghabiskan waktu sambil melepas dahaga usai kuliah siang itu. Mira yang ditunggu tak jua menampakkan batang hidungnya.  Jalanan pun terlihat sepi, orang malas lalu-lalang karena cuaca yang panas.

Dengan berat hati, akhirnya ia tinggalkan sisa minuman di meja kantin. Menuju pintu keluar dengan harapan bertemu Mira dan bisa diajak pulang bersama.

"Hai, Dinda, mau pulang, ya?" Tiba-tiba Febri menyapa sambil mengarahkan mobilnya menghalangi Dinda. Dengan sok akrab, dia turun dari mobil dan melangkah mendekati Dinda.

Dinda hanya tersenyum menanggapi sapaan Febri -- lelaki yang belum dikenalnya. Bingung. Dalam hati dia bertanya, Siapakah lelaki itu? Kenapa bisa tahu namaku?

 "Hai, Din! Tunggu!" Dari jauh suara Mira terdengar mendekat. "Sudah kenalan belum? Kenalin, ini Febri, anak teknik. Feb, sudah tahu, 'kan? Ini Dinda yang selalu kamu tanyakan." 

Belum hilang penasaran Dinda, tetiba Mira muncul dan memperkenalkan Febri. Uluran tangan Febri pun disambut oleh Dinda dengan ragu.


"Feb, antar kami pulang, ya? Panas, nih. Lagian mobilmu kan kosong. Lumayan, 'kan, kita bisa hemat ongkos angkot." Sambil mengerlingkan mata, Mira mengiba.

"Iya, boleh. Ayo, naik! Siapa dulu yang diantar? Mana yang lebih dekat, rumah Dinda atau rumahmu, Mir?" Dengan sigap Febri membuka pintu mobil dan mempersilakan Dinda dan Mira masuk ke mobil.


***

Sejak perkenalan itu, Febri sering datang ke rumah Dinda. Keluarga Dinda pun senang dengan kedatangan Febri yang ramah dan selalu banyak cerita. Terlebih, lelaki gagah itu tak pernah lupa membawa oleh-oleh untuk mereka, terutama ibunya Dinda. 

Bahkan, ibunya Dinda pernah dibawakan sesuatu yang membuatnya terkesan, hingga berpesan pada Dinda, 'Besok kalau cari suami yang seperti Febri. Selain orangnya ramah, dia pandai membahagiakan orang dan nggak pelit.'

Dinda mulai merasakan ada sesuatu yang dipaksakan. Sebenarnya, dia tidak suka dengan kedatangan Febri, tetapi Ibu sangat senang dengan kehadirannya. Sering kali Dinda tidak bisa menemui Febri dengan alasan banyak tugas. Namun, Ibu selalu memaksa untuk keluar menemui Febri.

"Tak baik bersikap seperti itu, sudah sepantasnya kita memperlakukan tamu dengan baik. Jarang, lho, ada lelaki yang seperti Febri.  Jangan menyesal, ya, nanti!" Selalu itu yang dikatakan Ibu jika Dinda menolak menemui Febri.

Mereka pun mulai akrab dan selalu terlihat berdua. Berangkat dan pulang kuliah selalu bersama layaknya dua sejoli. Hanya demi membahagiakan ibu, pikir Dinda. Meskipun tak ada cinta sedikit pun di hatinya. Ia hanya berusaha menerima Febri.

Waktu bergulir, tahun berganti. Mereka pun lulus. Dinda semakin larut menikmati perjalanan cinta bersama Febri, walau harus memaksakan hati.

Memaksakan cinta hadir di antara mereka, meski kadang sulit ia berusaha mencintai Febri. Hingga akhirnya mereka pun bertunangan.
Asal Ibu bahagia, semoga aku pun bahagia, pikir Dinda.

"Kamu nanti ingin punya anak berapa, Din? Kalau aku pingin punya anak yang banyak, biar rumah kita selalu ramai. Dan kamu nggak akan kesepian kalau aku ke kantor." Harapan Febri pada Dinda.
 
Suatu hari, karena berbeda pendapat dengan Febri, Dinda sempat menerima tamparan di pipi. Bekas tangan menempel di pipi, luka pun tergores di hati. Belum juga jadi istri yang sah, Dinda sudah merasakan perih. Diam menjadi pilihannya.

Pada kesempatan yang lain, karena kurang hati-hati Dinda menumpahkan minuman yang ada di meja hingga mengenai pakaian Febri. Tanpa pernah membayangkan sebelumnya umpatan yang keluar dari mulut Febri.

"Bodoh! Sudah tau ada gelas kopi di senggol! Matamu ke mana?" bentak Febri.

"Begitu caramu memperlakukan perempuan? Apa tidak ada cara lain yang lebih pantas kau ucapkan?" tanya Dinda.

Febri terdiam sesaat, lalu bangkit dan mengambil sesuatu segera berlalu. 

***
"Mira, gimana, ya, caranya agar aku bisa putus dari Febri? Aku sudah tak sanggup membohongi perasaanku sendiri. Aku sudah lelah berpura-pura. Terlebih akhir-akhir ini, Febri sering kasar padaku. Tak jarang aku dibentak atau ditampar," keluh Dinda pada Mira.

"Sekasar itukah Febri? Aku tak menyangka sama sekali. Lalu ibumu?" Mira heran karena baru kali ini Dinda menceritakan keadaan sesungguhnya.

"Aku tak mau menyakiti Ibu, biarlah Ibu bahagia. Jangan sampai tahu kondisiku yang sebenarnya. Aku yakin pasti bisa menasihati Febri," jawab Dinda meyakinkan Mira.

"Tapi kamu akan menikah dengannya, bagaimana nanti jika dia selalu kasar padamu, Din?" Pertanyaan Mira membutuhkan waktu untuk bisa dijawab.

Persiapan pesta pernikahan sudah dimatangkan. Gedung, souvenir, dan katering sudah terbayar. Baju pengantin pun sudah dijahit. Semua sudah dipesan hanya menunggu waktu penyelenggaraan.

*** 

Siang itu, Dinda diminta mengikuti pimpinannya menemui mitra kerja mereka. Sebagai karyawati baru, Dinda hanya bisa menuruti perintah atasan. Walau sebelumnya, Febri sudah berpesan dan melarang keluar kantor hanya berdua dengan pimpinan.

Pada pertemuan itu, ternyata perusahaan rekanan yang dimaksud dipimpin oleh Dhani -- kakak kelas waktu Dinda kuliah. Jadi, mereka masih satu almamater.

Walau tidak terlalu akrab saat di bangku kuliah dulu, tetapi Dinda dan Dhani pernah terlibat dalam satu kepanitiaan. Jadilah reuni kecil bagi mereka. Suasana pun jadi penuh keakraban dan  canda tawa, usai membahas masa depan perusahaan.

Pertemuan yang berkesan buat Dinda, begitu juga dengan Dhani. Masing-masing saling mengagumi dan menunjukkan rasa suka. Nyaman jika bisa berbincang berdua, hingga akhirnya mereka pun mengungkapkan perasaan mereka. Saling mencintai.

Namun, Dinda telah terikat tali pertunangan  dengan Febri. Ada keraguan di hatinya, untuk tetap bertahan dalam ikatan Febri yang menegangkan atau memilih jalan lain bersama Dhani.

Suatu hari, Dinda pamit pergi ke kantor. Namun, hingga malam tak juga pulang ke rumah. Febri yang sudah curiga dengan sikap Dinda akhir-akhir ini, mulai gelisah.

Ibu Dinda pun resah dan berusaha mencari keberadaannya. Ke mana putrinya tak pulang beberapa hari terakhir? Sanak saudara dihubungi semua. Namun, tak ada satu pun yang tahu keberadaan Dinda.

Suatu hari didapat kabar, bahwa Dinda berada di rumah neneknya. Febri pun mendengar kabar itu, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya.

Tanpa sepengetahuan ibunya, Dinda ternyata telah menikah dengan Dhani atas persetujuan ayahnya. Melalui wali hakim ia melakukan ijab qabul.

Febri pun akhirnya mengetahui bahwa Dinda sudah menikah dengan Dhani -- lelaki yang baru beberapa bulan dikenal akrab dan lebih dicintai. Pernikahannya sengaja dilaksanakan di tempat tinggal neneknya, yang kebetulan satu kota dengan Dhani.

Cinta tak pernah salah memilih.
Cinta tak bisa dipaksakan. 

Cinta hadir bagi siapa yang diinginkan.
Cinta yang sejati adalah cinta yang membahagiakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun