Mohon tunggu...
Anwar Abbas
Anwar Abbas Mohon Tunggu... Lainnya - Berbagi Inspirasi

Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) yang ingin berbagi manfaat dengan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mewaspadai Efek Domino Kedelai

16 Februari 2021   19:00 Diperbarui: 16 Februari 2021   19:03 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Awal Januari lalu, Presiden Joko Widodo kembali menunjukkan kegusarannya. Kali ini, biang kerok dari kegusaran presiden adalah kacang kedelai. Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum teratasi, tiba-tiba terjadi lonjakan harga kedelai di pasaran. Kegusaran presiden sangat bisa dimaklumi, pasalnya persoalan kedelai bukan sekedar persoalan tahu dan tempe. Lebih dari itu, jika tidak ada jalan keluar, persoalan kedelai bisa merambat dan menimbulkan masalah-masalah lain yang lebih besar.

Kenaikan harga kacang kedelai, dalam hal ini kedelai impor, bukan sekedar mengakibatkan pemogokan para pengerajin tahu dan tempe yang bermuara pada langkanya tahu dan tempe di pasaran selama beberapa hari. Tapi jika kita memperhatikan data-data yang berkaitan dengan kacang kedelai, seharusnya membuat kita lebih waspada terkait kenaikan harga kedelai ini.

Menurut data hasil Survei Konsumsi Bahan Pokok yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2017, kebutuhan komoditas kedelai dalam negeri mencapai 3,10 juta ton biji kering, atau setara dengan 11,89 kilogram per kapita. Sayangnya, hasil produksi petani dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 30 persen dari total kebutuhan tersebut. Karena itulah, untuk memenuhinya pemerintah memutuskan untuk melakukan impor komoditas kedelai dari berbagai negara.

Keputusan impor kedelai itu bagai memakan buah simalakama, kebutuhan dalam negeri terpenuhi, namun di balik itu terjadi persaingan baik dari segi harga maupun kualitas antara produk lokal dengan produk impor. Sayangnya, produk lokal cenderung kalah dalam persaingan tersebut. Akibat dari membanjirnya produk kedelai impor di pasaran, membuat kedelai-kedalai hasil petani dalam negeri semakin terpinggirkan. Tidak mengherankan, jika pada akhirnya para petani memutuskan untuk menanam komoditas lain selain kedelai.

Pada tahun 1993 luas panen kedelai di Indonesia masih dikisaran 1,4 juta hektar, namun pada tahun 2015 luas panen kedelai hanya dikisaran 722 ribu hektar. Tentu saja, penurunan luas panen ini juga diikuti oleh penurunan produksi. Pada tahun 1993, produksi kedelai sekitar 9,2 juta ton, namun pada tahun 2015 produksi kedelai hanya sekitar 843 ribu ton. Jika penurunan luas panen dan produksi ini dibiarkan dan terus berlanjut, maka Indonesia akan semakin ketergantungan pada produk kedelai impor.

Ketergantungan pada kedelai impor tentu bukan sesuatu yang baik. Pasalnya, kedelai bukan sekedar untuk keperluan konsumsi secara langsung oleh masyarakat. Data justru menunjukkan bahwa sekitar 96 persen dari total konsumsi kedelai digunakan sebagai bahan baku industri, utamanya industri skala mikro dan kecil. Dari 3,10 juta ton kebutuhan komoditas kedelai di tahun 2017, sekitar 2,6 juta ton adalah kebutuhan industri skala mikro dan kecil.

Oleh karena itu, sangat riskan untuk terus menggantungkan kebutuhan kedelai nasional pada kedelai impor. Contoh kecil bisa kita lihat di awal tahun ini, ketika terjadi lonjakan harga kedelai impor, sontak keluhan muncul dari para pelaku industri yang berbahan baku kedelai. Paling ekstrim tentu saja oleh para pengerajin tahu dan tempe yang sempat memutuskan berhenti berproduksi selama beberapa hari. 

Dengan kata lain, jika kita terus menggantungkan kebutuhan kedelai pada kedelai impor, sama saja dengan menggantungkan nasib para pelaku industri yang berbahan baku kedelai pada bahan baku impor. Masalahnya, kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengontrol harga komoditas kedelai yang berasal dari luar negeri.

Keadaan akan semakin parah, jika peringatan FAO (Food and Agriculture Organization) tentang kemungkinan akan terjadi krisis pangan dunia selama pandemi covid-19 menjadi kenyataan. Hal tersebut bisa mengakibatkan negara-negara produsen pangan tidak mau menjual persediaan pangan mereka. Selain itu, juga bisa dimanfaatkan oleh para spekulan impor yang nakal untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, harga pangan dunia termasuk kedelai akan semakin tidak terkendali.

Tidak boleh dilupakan, bahwa yang bermasalah bukan hanya para pelaku industri yang berbahan baku kedelai, tetapi juga banyak tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada indutri tersebut. Apalagi di saat Indonesia masih terjebak dalam pandemi covid-19 yang memukul perekonomian dan mengakibatkan melonjaknya angka pengangguran. Maka, jika masalah kedelai tidak dapat diatasi, tidak menutup kemungkinan akan terjadi gelombang pengangguran baru yang berasal dari industri ini.

Sisi lain yang menarik dari kedelai adalah fakta bahwa olahan kedelai semisal tahu dan tempe merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan pada Maret 2020, tahu dan tempe termasuk dalam komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan, utamanya garis kemiskinan di daerah perkotaan. Artinya, tahu dan tempe adalah makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat miskin di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun