Respons masyarakat kebanyakan yang cenderung tidak toleran terhadap pilihan hidup orang lain sudah selayaknya diarahkan menuju sikap berpikir terbuka yang toleran.Â
Tidak mudah memang mengubah pemikiran dasar umum seperti "menikah adalah keharusan atau jomblo adalah aib" menjadi "menikah adalah pilihan, jomblo adalah pilihan".
Sudah semestinya masyarakat lebih menunjukkan kepedulian dengan benar-benar bersikap peduli, bukan dengan memaksakan kehendak sesuai standar kebenaran diri.Â
Hal itu terjadi karena memang tidak bisa menggunakan cermin diri untuk mengatur solusi permasalahan orang lain. Selain subjeknya berbeda, konteks masalah satu persona dengan yang lain mustahil sama.
Jelas, kesoktahuan dengan mengatakan "cepat sana punya gebetan, buruan menikah ingat umur, jangan sampai jomblo seumur hidup" tidaklah semudah mengeluarkan kotoran hidung dengan jari telunjuk, bukan?Â
Daripada menekan orang lain untuk berbuat sesuatu, lebih baik menghargai dengan tidak mengolok-olok dan memperlakukan seperti biasa saja, tidak sulitkan?
Memberikan perlakuan yang setara tampaknya bukan hanya kerja para feminis yang giat menyebarkan ihwal kesetaraan gender. Hal tersebut terjadi karena kaum jomblo juga diperlakukan tidak setara.Â
Perihal ini tidak bisa dianggap remeh atau "ya biasalah masyarakatkan memang suka begitu" karena lama kelamaan, anggapan jomblo adalah aib mungkin saja bisa atau bahkan kiranya sudah terjadi.
Tidak jarang, teman yang tidak memiliki pasangan atau memutuskan untuk tidak memiliki pasangan akan menjadi objek perbincangan.Â
Kaum minoritas ini akan menjadi bulan-bulanan lelucon, ramai menerima tag quote-quote bijak soal percintaan, dan cenderung dipaksa untuk "ayolah buka hatimu untuk orang lain".Â
Namun, sebenarnya hal-hal itu justru akan menjadi beban yang menekan. Niatan ingin sembuh dari sakit hati atau mungkin trauma, yang didapat justru kata-kata motivasi bernada paksaan atau olokan.