Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Nurani Jurnalis Kita

4 April 2016   14:10 Diperbarui: 4 April 2016   14:22 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Netanyahu dan Wartawan Senior Indonesia. Sumber: Times of Israel"][/caption]“Begitu rendahnya Zionisme busuk ini terbenam sampai-sampai ia tidak sanggup membela dirinya dengan debat terbuka dan dialog yang sejati. Ia pakai taktik-taktik gelap mafia untuk mmperoleh kebungkaman dan kepatuhan. “
(Edward Said, Freud, Zionisme dan Wina)

Pekan lalu, media sosial dihebohkan dengan beredarnya berita mengenai pertemuan antara Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dengan perwakilan jurnalis senior Indonesia. Sumbernya sangat otoritatif yakni situs Kementerian Luar Negeri Israel, www.mfa.gov.il. Disebutkan dalam agenda itu, Netanyahu menyerukan agar hubungan diplomatik Israel-Indonesia segera dibuka. Tentu saja hal ini mengundang reaksi keras netizen di tanah air.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Presiden Indonesia, H. Joko Widodo dalam KTT Luar Biasa OKI menegaskan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina dan boikot terhadap barang yang diproduksi di daerah pendudukan Israel. Belum lama pula kita mendapati berita bahwa Menlu Retno Marsudi tidak bisa berangkat meresmikan Konsul Kehormatan RI untuk Palestina di Ramallah karena tidak mendapat izin terbang oleh otoritas Israel hingga akhirnya proses pelantikan itu terpaksa dialihkan di Amman, Yordania. Jika dibandingkan, apa yang dilakukan para wartawan ini amatlah mengusik nurani kita. Tak heran kemudian publik mengkritik habis langkah ini.

Dilansir hidayatullah.com, pengamat media Adian Husaini menyebut sikap sejumlah wartawan bermesraan dengan Netanyahu ini sebagai penghinaan kepada martabat bangsa Indonesia. Adian mengingatkan bahwa komitmen bangsa Indonesia dalam membantu perjuangan kemerdekaan Palestina adalah komitmen seluruh bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 menegaskan sikap anti-penjajahan. Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung pun dijiwai oleh semangat anti-zionisme. Bahkan, zionisme dikatakan sebagai bentuk penjajahan yang paling hitam (the blackest imperialism), di abad ke-20.

Tuntutan Profesi?

Belakangan baru terkonfirmasi bahwa kelima wartawan Indonesia yang diundang ke Yerusalem tersebut Abdul Rakhim (Jawa Pos), Heri Triyanto (Bisnis Indonesia), Tomi Aryanto (Tempo), James Luhulima (Kompas) dan Margareta (MetroTV). Dalam berbagai reportase yang tersebar, tampak wajah mereka dengan senyum merekah. Inilah yang membuat sikap mereka disinisi di tanah air. Tidakkah mereka ingat dengan bocah-bocah mungil tak berdosa yang dihabisi tentara Israel di Gaza?
Apakah pertemuan ini bisa kita sebut sebagai hal yang biasa-biasa saja? Bagi sebagian orang akan ada dalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata tuntutan profesionalisme dalam kerja jurnalistik.Konon -kata Febriana Firdaus, jurnalis Rappler Indonesia- jurnalis bisa mewawancarai malaikat sampai penjahat sekalipun. “Kita tidak bisa menjustifikasi hanya dari senyumannya. Itu sudah tugasnya,” urainya di akun jejaring sosial Facebook.

Alasannya tersebut diamini pula dengan pengakuan salah satu delegasi wartawan tersebut. Heri Triyanto, redaktur pelaksana harian Bisnis Indonesia, mengatakan bahwa lawatan mereka adalah bagian dari kerja jurnalistik, dan penting bagi para wartawan untuk melihat sendiri situasi di lapangan.

"Kunjungan ini memungkinkan saya melihat langsung (situasi di lapangan), tanpa kehilangan empati atas perjuangan rakyat di Palestina," kata Heri dalam wawancara dengan BBC Indonesia, hari Rabu (30/03). Tidak hanya itu, Heri juga mengungkapkan bahwa dalam enam tahun terakhir ada sekitar delapan atau sembilan rombongan wartawan atau politikus yang memenuhi undangan dari pemerintah Israel.

Akan tetapi, semua alasan ini tidaklah dapat diterima begitu saja. Sungguh argumen-argumen tersebut sangatlah lemah. Jika lawatan ke Yerusalem dianggap tuntutan profesi, maka beragam pertanyaan akan segera muncul ke hadapan. Apakah untuk mendapatkan cover both side, kita harus memenuhi jamuan Netanyahu? Bila menurut mereka tujuannya adalah menggali informasi, maka informasi macam apa yang dicari dan bagaimana hasilnya?

Patut diingat bahwa Netanyahu sebagai pemimpin negara Zionis tersebut punya sejarah pelanggaran HAM yang amat kelam, baik pada periode pertamanya (1996-1999) maupun pada periode keduanya (2009-sekarang). Kejahatan terorisme berskala luas yang menjadi tanggung jawabnya terjadi baik di kawasan Palestina yang terjajah, di kota Jerusalem atau Al-Quds, di Tepi Barat, dan terutama di Gaza. Di antaranya ialah serangan terorisme besar-besaran yang dilancarkan selama 8 hari ke Jalur Gaza pada bulan November 2012 dan selama 51 hari dari Juli sampai September 2014, yang membunuh lebih dari 3 ribu orang warga termasuk ratusan anak-anak di bawah usia 15 tahun serta membuat cacat seumur hidup dan luka-luka, serta guncangan jiwa lebih banyak lagi warga Gaza.

Netanyahu juga merupakan pendukung utama semua usaha, baik yang dilakukan oleh parlemen, pemerintah, aparat bersenjata, maupun oleh para permukim ilegal Yahudi ‘Israel’, dalam rangka menghancurkan Masjidil Aqsha secara sistematis. Dimulai sejak Juni 1967 dengan pengepungan Masjidil Aqsha, penggalian terowongan-terowongan di bawah pondasi Masjidil Aqsha, pengusiran sistematis warga Palestina dari sekitar Masjidil Aqsha, penghancuran pemukiman, perampasan tanah, serta intimidasi terus-menerus terutama di Jerusalem atau Al-Quds Timur. Bahkan hingga diizinkannya rombongan pemukim ilegal Yahudi masuk ke Masjidil Aqsha untuk melakukan ritual ibadah di kiblat pertama umat Islam itu. Tidak hanya itu, penangkapan dan penyiksaan juga dilakukan kepada pemuda-pemuda jama’ah Masjidil Aqsha. Sekarang sebuah rancangan undang-undang sedang dibahas di Knesset parlemen ‘Israel’ untuk membagi komplek Masjidil Aqsha yang luasnya 14,4 hektar menjadi dua: separuh untuk Muslim, separuh untuk Yahudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun