Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bila Pemilu Seperti USM STAN

16 April 2014   16:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan rahasia lagi bahwa Pemilu 2014 ini penuh kecurangan. Nyaris di semua provinsi temuan kecurangan begitu melimpah. Ini sekali lagi membuktikan bahwa UANGlah yang berdaulat, bukan rakyat. Istilah vox populi vox dei sudah tidak relevan lagi. Karena suara rakyat ternyata bisa dibeli. Kampanye “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” juga tidak ngefek. Sebab faktanya mereka tetap mencoblos siapa yang rajin “memberi”.

Di kelurahan saya, nyaris semua caleg yang mendapat suara signifikan adalah mereka yang gemar “menyiram” massa. Nilainya berkisar dari Rp. 20.000,- s.d. Rp. 200.000,-. Malah yang mendistribusikan “kedermawanan” para caleg ini adalah lingkungan keluarga besar saya. Maka saya tahu persis berapa jumlah yang dikeluarkan para tim sukses. Padahal mereka tak mengenal sang caleg. Padahal ada caleg yang bandar judi. Padahal ada caleg yang ijazah sarjananya membeli. Padahal ada caleg yang dulu mereka benci setengah mati karena kelakuannya tak tahu diri.

Yang dahsyat seperti video yang kini beredar di YouTube. Pencoblosan secara massal untuk memenangkan pasangan calon legislatif dari partai PDIP dan Gerindra terjadi di Nias. Dari video yang ditayangkan oleh Metro TV disebutkan masing-masing warga diberikan uang sejumlah 100 ribu rupiah. Pencoblosan tidak hanya terjadi dalam bilik suara, tapi juga di meja KPPS yang berada di TPS. Aksi ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak.

Tak kalah hebat, hitungan matematika para penyelenggara negara pun begitu ajaib. Dalam foto-foto yang dirilis saksi salah satu parpol yang kemudian dishare politisi Golkar, Indra Jaya Piliang melalui akun twitternya, terlihat salah satu penghitungan: 5+2+2+5+9+16+1+3+1+1+1=135. Saya tidak tahu dimanakah KPPS ini belajar matematika. Mungkin mereka hendak menciptakan teori baru, pikir saya.

[caption id="attachment_320202" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Kultwit Indra Jaya Piliang"][/caption]

[caption id="attachment_320203" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Kultwit Indra Jaya Piliang"]

13976143951709750902
13976143951709750902
[/caption]

Pemilu Seperti USM STAN?

Melihat ini semua, banyak pihak yang pesimis dengan Hasil Pemilu. Jika kecurangan terjadi dimana-mana, maka kelak yang menjadi anggota dewan terpilih bukan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Dengan begini, sampai kapankah –meminjam istilah Karni Ilyas- DPR kita mau bebas dari korupsi jika mereka menang dengan membagi uang dan berlaku curang.

Maka, izinkanlah saya mengandaikan atau –lebih tepatnya- mengusulkan sistem Pemilu kita ini diubah. Tak usah lagi pakai sistem pemungutan suara. Namun gunakan saja sistem seleksi terbuka. Persis seperti Ujian Saringan Masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (USM STAN ). Pola USM STAN sudah teruji merupakan salah satu metode rekrutmen mahasiswa paling kredibel dan bersih. Bila sejumlah sekolah kedinasan lainnya penuh aromabusuk taruna titipan, maka STAN relatif aman dari perkara demikian.

[caption id="attachment_320204" align="aligncenter" width="300" caption="Kampus STAN Bintaro. Sumber: www.stan.ac.id"]

13976145481050345740
13976145481050345740
[/caption]

Cobalah Anda bayangkan jika tahapan Pemilu diganti persis seperti USM STAN. Sederhananya begini:

Pertama, para caleg menyetor biaya pendaftaran. Di sini mereka hanya membayar seratus ribu rupiah untuk syarat pendaftaran. Ini tentu menghemat pengeluaran para caleg.

Kedua, para caleg melakukan registrasi online dan pendaftaran ulang. Yang gagap teknologi atau belepotan mengisi biodata bakal belajar lebih giat agar tidak “oon”.

Ketiga, para caleg mengikuti ujian tertulis yang terdiri dari Tes Potensi Akademik dan Tes Bahasa Inggris. Ini mewakili seleksi kecerdasan intelektual.

Keempat, para caleg yang lulus TPA dan TBI, mengikuti ujian selanjutnya yaitu tes kesehatan dan kebugaran. Ini mewakili seleksi kesehatan jasmani.

Kelima, para caleg yang lulus Tes Kesehatan dan Kebugaran, mengikuti wawancara kerja. Ini mewakili seleksi kedewasaan psikologis, kematangan emosi dan kecerdasan interpersonal.

Dengan cara seperti ini, meski diikuti oleh –katakanlah- 100.000 caleg, setidaknya nanti para anggota dewan yang lolos adalah mereka yang benar-benar punya kemampuan. Bukan seperti sekarang ini. Ada caleg yang berbicara di depan orang saja gagap, tapi karena bapaknya mantan bupati dan punya sumber daya finansial kuat, maka ia sukses melenggang ke kursi empuk dewan.

Ini mungkin memang khayal yang berlebihan. Tapi memasukkan beberapa prinsip-prinsip seleksi USM STAN –dan tes masuk kerja di perusahaan swasta- bukanlah hal yang mustahil. Setidaknya, sistemnya tetap pemungutan suara namun memasukkan unsur-unsur tes di atas sebagai prasyarat menjadi caleg. Who knows? Ini negara demokrasi, kok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun