Permainan ini kerap menyita banyak waktu penggunanya hingga sering mengabaikan sisi kehidupannya yang lain, baik anak-anak maupun orang dewasa. Mimpi tentang shifting (peralihan) media bacaan dari cetak ke digital masih sebatas karangan fiksi yang belum terwujud.
Hal ini diperparah dengan kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menyatakan bahwa usia anak mengakses gawai adalah 13 tahun karena dinilai sudah cukup nalar untuk membedakan hal baik dan buruk (tirto.id, 18 Mei 2018).
Itupun tetap harus dengan pendampingan dan teladan orangtua. Jangan sampai anak dilarang, tapi ayah sibuk berbalas pesan di Whatsapp dan ibu fokus menyimak aneka promo di toko daring. Di hari libur pun, jangan disalahgunakan sebagai hari kebebasan bergawai, namun dimanfaatkan untuk bercengkerama bersama keluarga.
Selanjutnya, literasi keluarga dimulai dengan menyediakan perpustakaan mini di rumah. Siapkan anggaran rutin untuk membeli buku baru setiap bulan sesuai kemampuan kita.Â
Agendakan waktu khusus untuk membacakan buku kepada anak. Nanti di momen ulang tahun, orang tua dapat memberikan hadiah buku yang menarik. Kita masih harus bertarung dengan televisi dan internet.Â
Maka yang terpenting jadilan teladan yang dapat ditiru anak. Patut kita simak sindiran penulis Australia, Paul Jennings, "Tak ada gunanya menularkan virus membaca ke dalam diri anak-anak, jika Anda sendiri tak pernah memilikinya."
Intinya, semua elemen harus berjuang bahu-membahu menumbuhkan budaya literasi bangsa. Program pemerintah terus digenjot dan diarahkan agar lebih efektif.Â
Termasuk menggunakan anggaran yang ada untuk sosialisasi kepada orangtua. Selebihnya di sinilah peran elemen masyarakat secara kultural. Oh ya, jangan sampai ada yang mengaku sebagai pegiat literasi, tapi dia sendiri alpa membaca buku ya!
Penulis adalah pegiat literasi pada Forum Lingkar Pena Sumatera Utara.