Kalau bukan karena dosen dan guru yang memberi tugas makalah dengan kewajiban menukil sekian referensi, bisa jadi kunjungan ke perpustakaan tinggal seremoni institusi pendidikan sebagaimana dialami museum.Â
Jadi, amat tepat pendapat Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI) Sumut, Saripuddin Lubis dalam pertemuan tersebut bahwa pokok persoalan dunia literasi kita bukanlah perkara kurangnya ketersediaan bahan bacaan, melainkan belum tumbuhnya budaya baca.
Provinsi Literasi
Masih berlarutnya persoalan literasi ini sangat bertolakbelakang dengan semangat menggebu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Tepat di Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017, Gubernur Sumatera Utara waktu itu T. Erry Nuradi mendeklarasikan Sumatera Utara sebagai Provinsi Literasi dan dimulainya gerakan literasi di Sumatera Utara.Â
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir yang datang bersama Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional Dedi Junaedi turut bertepuk tangan meriah menyambut pencanangan itu.
"Hal-hal yang berhubungan dengan implementasi gerakan literasi di Provinsi Sumatera Utara akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sistematis, dinamis, dan berkesinambungan," janji Erry sebagaimana dikutip Kompas.com (21 Mei 2017).Â
Pendeklarasian ini dilakukan sebagai bentuk dukungan Pemprov Sumut terhadap Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.Â
Permendikbud tersebut mengatur kegiatan membaca buku nonpelajaran wajib 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Pemerintah menganggap hal ini bisa menuntaskan problem literasi kita.
Justru di sinilah letak persoalannya. Gerakan literasi disimplifikasi hanya menjadi kegiatan yang mewajibkan siswa membaca. Entah sang siswa senang atau terpaksa tak pernah dibahas.
 Jika saja guru tak kreatif mempropagandakan manfaat dan pentingnya membaca, maka seremoni lima belas menit saban hari akan menjadi menit-menit paling horor yang menghantui hidup para pelajar.Â