Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teladan Abdul Hamid II Melawan Konspirasi Asing

13 Februari 2017   11:34 Diperbarui: 13 Februari 2017   11:52 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap. Kedatangannya kali ini untuk menyuap sang sultan. Hertzl menyodorkan hadiah yang sangat menggiurkan yakni uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan pribadi; membayar semua utang pemerintah Utsmani yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta franc; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Utsmani di Palestina.

Namun semua tawaran itu ditolaknya tegas. Bahkan Sultan tak sudi menemui Hertzl, lalu mewakilkan kepada PM Tahsin Basya, dengan pesan, “Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya.”

Lain waktu, pernah pula pemerintah Inggris mengajukan proposal penggalian benda-benda purbakala di wilayah kekuasaan Utsmani. Namun ternyata penggalian benda-benda purbakala itu hanya kedok belaka, karena sejatinya mereka ingin mengeruk tambang-tambang minyak. Karena itu Sultan marah luar biasa dan mencabut proyek kerjasama tersebut.

Pelajaran untuk Indonesia

Berbagai turbulensi yang dialami oleh Sultan Abdul Hamid II ini sangat relevan dalam konteks kekinian bangsa Indonesia. Siapapun yang berkuasa, jika ia tak mau mengikuti perintah asing, apalagi mempunyai misi menegakkan Islam, maka akan bernasib sama sebagaimana sang sultan pada masa lalu. Kekuasaan yang dipegang oleh sosok pemimpin muslim yang tegas dalam menjalankan pemerintahan dengan nilai-nilai Islam, akan selalu dirongrong dan digoyang sampai tumbang. Inilah yang kita saksikan saat PM Ismail Haniyah dari HAMAS memenangan Pemilu Palestina. Begitu pula Presiden Mursi di Mesir yang sekeluarganya penghafal Qur’an itu dikudeta dengan zalim oleh militer yang disokong asing.

Saat kekuatan asing tampak mencengkeramkan cakarnya ke tengah bangsa, tentu kita rindu pemimpin bermental Abdul Hamid II. Ketika utang luar negeri terus ditambah, liberalisasi undang-undang migas dan minerba, kepemilikan properti oleh asing, penguasaaan asing hingga 85% saham modal ventura hingga bolehnya 100% saham restoran dan jalan tol dikuasai asing, ada gelora untuk memiliki pemimpin sekuat Abdul Hamid II.

Negara yang berbhineka ini layak belajar darinya. Meski tegas menolak intervensi asing, Abdul Hamid II tetap bisa mengurangi utang Utsmani dari 300 juta lira hingga tinggal sepersepuluhnya saja yakni 30 juta lira. Kitapun jangan sampai latah mengikut polah Gerakan Turki Muda yang membebek budaya Barat, termasuk sisi negatifnya yang bertabur jumlahnya. Seperti yang diakui Abdullah Cevdet, “Yang ada hanya satu peradaban yakni peradaban Eropa. Karena itu kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya maupun durinya sekaligus.”

Mari kita doakan para pemimpin bangsa semakin istiqamah menjaga kedaulatan bangsa. Tidak harus anti asing, tapi tak boleh didikte dan tuduk pada asing. Persis seperti dipetuahkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Larasati, “Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”

Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun