Mohon tunggu...
Anton Widyanto
Anton Widyanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, pegiat seni dan sastra.

Center for Research and Publication UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Khotbah

10 November 2016   01:49 Diperbarui: 10 November 2016   02:20 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Anton Widyanto

“Bapak-bapak, Ibu-Ibu, Saudara-Saudaraku semua!”, tiba-tiba seorang laki-laki berusia kepala empat itu berteriak di tengah-tengah pasar. Suaranya yang dilantang-lantangkan tenggelam dalam hiruk pikuk jubelan manusia yang berbelanja dan sibuk tawar-menawar harga.

Setelah menyapukan pandangannya ke semua arah, laki-laki berkumis tipis, berpeci, berdasi, berjas hitam dan bersepatu mengkilat itu memulai  khotbahnya. “Sudah sekian lama kita sama-sama  tertindas di bawah kendali politik manusia-manusia serakah di bumi pertiwi ini. Semua kacau. Semua mau menangnya sendiri. Kita para rakyat kecil ini selalu dipiara dalam segala keterhimpitan. Biaya sekolah mahal, hutang negara bertambah, harga bahan makanan pokok melonjak, listrik byar pet bentar-bentar atpi tarifnya naik terus, harga bawang mencekik, minyak tanah kadang-kadang lenyap, bensin kadang-kadang menghilang, solar seringkali ditimbun, macem-macem pokoknya yang tentu membuat perut kita menjerit dan otak kita rasanya mau meledak! Betul?!”, tanyanya.   Tak ada seorangpun yang menjawab. Hanya si nenek tua yang biasa dipanggil Nek Tu yang berjualan sayur di dekat podium kecil si pengkhotbah yang terlihat manggut-manggut, entah karena mengerti atau justru bingung. Entahlah. Sementara sekitar sepuluh orang yang kelihatannya tertarik dengan aksi si pengkhotbah kebanyakan mengerutkan dahi. Mungkin mereka masih berpikir, atau justru mereka bingung, sama seperti Nek Tu.

Di depan Sang Pengkhotbah ada 4 orang anak usia belasan yang masih berbaju seragam. Kelihatannya mereka berhasil cabut dari sekolah. Ada juga tiga orang bapak-bapak yang masih duduk di atas sepeda motornya dan berhenti tepat di depan podium kecil sang pengkhotbah. Sementara di belakang podium ada si Udin dan Farhan yang kerjanya memperbaiki sol sepatu.  Sambil menunggu orderan, mereka berdua menyimak apa yang disampaikan laki-laki asing itu.

Nampaknya si pengkhotbah memang tidak butuh jawaban. Dia melanjutkan kembali orasinya, “Kita sebenarnya belum merdeka. Itu hanya slogan kosong politik kibul para pembohong negeri. Kita sebenarnya masih dijajah. Dijajah oleh bangsa sendiri. Oleh orang-orang culas, orang berhati hantu belau, yang mampu mempesona semua orang dengan sihir palsunya”. Laki-laki itu  mengayun-ayunkan jarinya, memberi penekanan. “Kitapun tanpa kita sadari telah ditipu mentah-mentah. Sekali lagi ditipu mentah-mentah!! Bapak-Ibu, saudara-saudara tahu kan artinya ditipu mentah-mentah?!!”. Mata Sang Pengkhotbah terlihat membelalak tajam, penuh kegeraman. Ludahnyapun bermuncratan dari bibirnya yang berkumis, membuat 4 anak sekolah yang setia mendengar khotbahnya sedikit mengelak dari hujan lokal. Ada pula yang mencoba menangkis serbuan mendadak itu dengan jari tangannya masing-masing.

Matahari siang masih bertengger di atas kepala. Cukup membuat otak mendidih sebenarnya. Tapi karena orasi Sang Pengkhotbah  dibawakan dengan cantik, orang-orangpun terlihat mulai tertarik mengikuti.

Sejenak Sang Pengkhotbah mengelap peluh di dahinya dengan sapu tangan coklatnya. Kemudian ia melanjutkan kembali khotbahnya. “Tahu nggak, sebenarnya yang disebut orang kaya itu ya kita-kita ini. Bapak-bapak yang kerjanya memperbaiki sepatu orang yang rusak. Nenek-nenek yang jualan sayuran. Atau saudara-saudara kita yang mbuka warung kopi, warung nasi, jualan rokok asongan, tukang becak, sopir labi-labi dan lain sebagainya. Kenapa? Karena orang-orang kecil seperti kita yang kerjaannya nyontreng saat Pemilu inilah yang ikut serta menggaji orang-orang berdasi yang duduk di singgasana masing-masing di atas sana. Orang-orang yang selama ini kita anggap mulia karena rumahnya gedongan, mobilnya lebih dari satu, kebunnya berhektar-hektar, hasil dari pengabdiannya sebagai aparatur negara sebenarnya kita juga yang ikut andil menggaji mereka. Kalo kemudian ada di antara mereka yang justru menzalimi Bapak-Ibu semua, itulah pejabat yang  keterlaluan namanya!!”.

Matahari yang sedari tadi tidak ramah mulai dilawan oleh kumpulan awan yang beriringan menutupi sinarnya. Suasana menjadi sedikit teduh. Sang pengkhotbahpun semakin bersemangat.

“Bapak, Ibu, Saudara-saudaraku sekalian”, nadanya kali ini dimulai dengan datar. “Kita sebenarnya saat ini butuh tokoh panutan. Tokoh yang bisa kita teladani dan bukan tokoh yang jago ngibul. Dulu kita punya banyak ulama yang sama-sama kita segani. Tapi sekarang, sayangnya telah banyak di antara mereka yang dipanggil Allah Swt. Sementara yang masih hidup, tidak sedikit yang justru asyik masyuk dalam syahwat politik kemudian melupakan ummat. Ulama-ulama seperti ini adalah ulama-ulama tak bernurani. Ulama lupa daratan. Ulama yang hanya mikirin kantong dan perutnya sendiri. Apa ada ulama seperti itu di gampong Bapak-Ibu?!!”, untuk kesekian kalinya laki-laki itu melontarkan pertanyaan pedas. Kali ini dengan nada meninggi. Untuk kesekian kali pula, para penonton tidak menjawab. Tapi mulai terlihat satu, dua orang yang berbisik-bisik. Entah apa yang dibisikkan. Mungkin mereka setuju, mungkin juga tidak. Tapi tak sedikit yang manggut-manggut.

Semakin siang, penonton semakin bertambah. Untaian kata yang diobral manis dan menggigit dari mulut Sang Pengkhotbah berobah menjadi magnet. Sentilan berbisanya menjadi kekuatan hipnotis. Bagaikan penyair di pasar ‘Ukaz masa Jahiliyah, ia menjadi sorotan mata manusia-manusia lapar yang butuh pemberontakan. Tapi Sang Pengkhotbah justru terdiam sekarang.

Diamnya Sang Pengkhotbah beberapa saat membuat para penonton penasaran. “Lanjuuuut!”, teriak salah seorang pedagang asongan yang sedari tadi menyimak orasi Sang Pengkhotbah dengan setia. Sang Pengkhotbah hanya membalas dengan senyuman. Tapi ia tetap saja terpenjara dalam diam. “Ayo!!”, sahut penonton lain dengan nada tinggi memberi semangat. Entah siapa yang memulai, satu per satu, orang mulai bertepuk tangan memberi semangat kepada Sang Pengkhotbah agar melanjutkan pidatonya. Senyum Sang Pengkhotbah semakin lebar. Tangannya melambai-lambai kepada penonton menimpali tepukan tangan yang diberikan. Ada raut bangga yang memancar dari mukanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun