Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mapel Sejarah: Disisipkan untuk Lebih Dicintai!

23 September 2020   22:44 Diperbarui: 24 September 2020   16:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Siswa tetap banyak yang beranggapan bahwa pelajaran sejarah sekedar menambah beban bobot studi-nya secara keseluruhan, karena beberapa alasan seperti tumpang tindih bahan pelajaran sejarah dengan sejarah mapel khusus: bila di era penulis, tumpang tindih itu banyak terjadi antara mapel sejarah dengan mapel bidang moral Pancasila (PMP); untuk yang kekinian, mungkin antara mapel sejarah dengan mapel sosiologi, mapel budi-pekerti, mapel agama, dan sejarah mapel khusus lainnya.

Ada juga siswa yang mendasarkan keluhannya pada fundamen relevansi. Bila bahan ajar sejarah hanya semacam kronikel yang harus dikuasai alih-alih sebagai bahan pemantik pikiran kritis dan logis, atau setidaknya sebagai bahan refleksi nilai-nilai keperilakuan para tokoh besar pendahulu, maka mapel sejarah cukup diberikan oleh para pengajar di bidang lain, sebagaimana setiap fakultas punya mata kuliah sejarahnya sendiri-sendiri. 

Terkait bahan sejarah perjuangan kebangsaan (PSPB) bisa saja disisipkan ke mata pelajaran sosiologi bab tentang budaya dan aspirasi kelokalan; mungkin dengan sedikit tambahan penyesuaian terkait nilai dan semangat juang para pejuang dan pahlawan.

Aspek pungkasan dari keberatan siswa terkait kekhususan mata pelajaran sejarah adalah faktor rasa percaya-diri si pengampu yang semakin memprihatinkan. 

Keluhan ini dapat kita pahami, karena semakin mudah siswa memperoleh informasi, maka kian besar tuntutan atau ekspekstasi siswa pada kualifikasi personal seorang pengajar ilmu sejarah. Sebagaimana, yang telah dipaparkan di atas, siswa sudah terbiasa mendapatkan banyak informasi (berlebihan) tentang sejarah melalui berbagai macam media atau melalui ragam kancah dan bentuk karya lain, seperti karya roman sejarah, drama sejarah, seni tentang sejarah (patung pahlawan, gerbang dengan fragmen sejarah), latihan ketrampilan berbahasa gaya masa lalu, seni membuat lagu bersejarah, dll. ; semua ini dibuat atau dikerjakan oleh siswa dengan terlebih dahulu harus mengetahui informasi tentang sejarah. Jadi, tanpa harus ada mapel khusus, siswa sudah secara langsung terpicu mencari bahan sejarah untuk membuat semua karya dari aktivitas non-mapel sejarah. Ketika mapel khusus sejarah diharuskan, maka wajar bila harapan siswa pada kompetensi pengampu-nya jadi sedemikian tinggi. 

Harapan siswa kekinian, guru sejarah itu adalah guru yang dapat menginspirasi mereka untuk berpikir kritis atau berefleksi. Tapi, harapan siswa itu hanya dapat terwujud dengan kualifikasi tenaga pengajar kelas bintang lima (berwawasan luas, humanis, lihay /cakap berkomunikasi); tenaga pengajar sejarah yang berwawasan luas, humanis dan cakap berkomunikasi itu, mustahil dipenuhi pihak sekolah selama bobot mapel sejarah (dibandingkan dengan bobot total seluruh bidang studi) itu sendiri rendah.

Di beberapa sekolah yang tetap ingin menjaga kualitas, seperti sekolah tempat penulis dulu, hal ini dapat disiasati dengan memosisikan rangkap pengampu ilmu sejarah dengan fungsi peran kepala sekolah. Jadi, guru sejarahku dulu cakap memantik pikiran kritis melalui slogan unik beliau setiap kali mengedarkan kertas ulangan yang hanya berisi paling banyak lima soal: "Jangan nafsu menjawab didahulukan, tapi dahulukan kandungan kritis dari setiap pertanyaan yang perlu dipikirkan". Atau guru muda sarjana sospol HI, pengajar sejarahku yang gemar berkisah tentang tindakan-tindakan manusia unggul beserta dilematikanya, guru muda yang senang menghadapkan siswanya pada realitas (peninggalan) sejarah agar tumbuh appresiasi pada kemampuan leluhurnya.

Mungkin, dalam situasi kekinian, akan lebih baik bila fungsi dan peran guru sejarah dirangkap oleh fungsi-peran guru pengampu bidang ilmu lain yang diakui (dianggap) berwawasan luas, humanis, dan cakap berkomunikasi. Seandainya ada mapel filsafat, akan sangat menguntungkan proses belajar mengajar, karena dapat dipadu dengan sejarah pemikiran Barat atau Timur.

Jadi, seandainya fenomena baru ini hanya terkait pada persoalan kebijakan tentang strategi, maka yang penting adalah perubahan perspektif dalam cara pencapaian tujuan pungkasan, yakni tujuan pencapaian rasa antusias dan penguasaan obyektif siswa di bidang ilmu sejarah. 

Bisa saja, dan dibenarkan serta dihalalkan, sekolah untuk menyisipkan pelajaran sejarah ke dalam mapel lain, sejauh misi seperti ini justru dapat meningkatkan antusiasme siswa di bidang ilmu sejarah. 

Melalui cara penyisipan ini, diharapkan siswa akan kian terpicu dan terinspirasi paparan tentang fakta sejarah, karena contoh kesejarahan yang diberikan lewat sumber ilmu lain akan kebih relevan dan tentunya akan lebih memantik daya refleksi siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun