Isu PKI yang Komic!
Setelah peristiwa penusukan pisau pada diri seorang ulama (oleh pemuda tak dikenal)viral, isu PKI pun kembali merebak. Isu yang selalu diulang-ulang ini, bila kita cermati, punya "tren" yang membentuk semacam pola. Â Pemicu gaung label PKI seringkali muncul bersamaan dengan peristiwa atau kejadian nahas yang "kurang jelas" sumber atau pelakunya.Â
Tren salto berpikir ini seolah hanya berfungsi sebagai ungkapan "tandingan" (ekspresi lawan tanding) stigma teroris atau stigma pelaku kurang waras yang baru-baru ini jadi trending topic.
Stigma atau stigmatism, menurut sejarah kelahirannya, bersumber dari komunitas keyakinan Katolik; dimana penampakkan bekas luka fisik pada seseorang, dikaitkan dengan pengalaman spiritualnya. Contohnya, bekas luka fisik pada telapak tangan seseorang dikaitkan secara langsung dengan pengalaman spiritualnya pada peristiwa penyaliban atau kebangkitan Yesus.
 Seolah bekas luka itu menjadi stempel dari "pihak yang bersifat spiritual" pada orang yang terpanggil. Istilah, terpanggil, penulis gunakan sesuai konteks keyakinan katolik bahwa segala hal yang berhubungan dengan capaian spiritual itu tidak bersumber dari upaya pribadi atau kelompok manusia semata, melainkan dari kehendak "Yang Ilahi".Â
Jadi, tidak selalu fenomena stigmata ini terlekat pada status keagamaan, bahkan yang paling sering terjadi, fenomena stigmata justru dialami oleh perempuan.Â
Konsep stigma ini lalu mengalami semacam perluasan makna hingga ke ranah sosiologi menjadi konsep sosial stigma, yakni kecenderungan kita untuk memberi cap atau penilaian umum pada seseorang hanya berdasarkan pada karakter fisik atau perilaku "khas/unik" orang tersebut.Â
Misalnya, kita akan rentan memberi cap PKI pada semua orang yang bersikap kritis pada praktek keagamaan; kita juga rentan memberi cap teroris pada semua orang yang kerap melawan hukum atau aturan adat (kebiasaan) dengan mengorbankan keselamatan orang lain, dan seterusnya.
Pada awalnya, stigma ini bertujuan untuk menyampaikan pesan pada kita; pesan dari "Yang Spiritual" dalam bentuk tanda-tanda fisik yang tiba-tiba muncul pada seseorang. Hanya mereka yang memiliki kepekaan, yaitu kepekaan hasil kesamaan visi dan misi dengan si pemilik stigma-lah  yang dapat membaca tanda-tanda fisik tersebut.Â
Dengan demikian, pada awalnya, stigma itu hanya dapat dipahami dan diyakini oleh kelompok atau orang sekeyakinan, mudahnya stigma sebagai simbol khas orang  "dalam".Â
Namun, dalam perkembangannya, stigma justru digunakan oleh orang "luar" untuk memberi cap tertentu pada sekelompok orang yang punya kesamaan karakter fisik atau perilaku.Â