Sebagai seorang yang pernah mencoba menggeluti pernik-pernik bahasa, meskipun secara amatiran (kata otodidak, bagi penulis sepertinya terlampau hebat), pengaruh nama Jakob Oetama sungguh menggetarkan eksistensi. Di mata penulis, yang paling menonjol dari beliau adalah ketenangan sikapnya, mungkin karena ia putera September (dan wafatnya hari ini pun, tepat di bulan kelahirannya) yang pada umumnya berzodiak Virgo.
Bicara tentang zodiak virgo, penulis jadi teringat tembang jadul berjudul virgo yang dinyanyikan oleh Ade Manuhutu. Lagu yang sendu, kalem sekaligus melankolik itu sungguh cocok dengan karakteristik zodiak virgo; singkatnya, tembang ini mengisahkan gaya hidup yang mengalir dengan tenang dan rendah hati. Bisa jadi, semasa hidupnya bapak Jakob pun menyukai tembang ini.
Mungkin ketenangan dan kerendahatian-lah yang menjadi faktor utama kesuksesan beliau di kancah bahasa, khususnya di bidang jurnalisme. Syarat utama untuk capaian ke taraf ahli di bidang bahasa tulis, tentu mencakup faktor ketenangan dan kerendah-hatian; dan ini-lah justru faktor kelemahan penulis. Maka tidak perlu heran bila penulis lalu jadi semacam penggemar fanatik beliau; hukum kompensasi nyaris tak terelakkan!
Selain kesan yang bersifat pribadi, penulis pun kagum dengan "etos" yang beliau tanam dan tumbuhkan secara konsisten pada anak asuhnya, yakni harian Kompas. Bisa jadi, Kompas itu pernah penulis anggap sebagai ortu angkat sendiri, karena sejak duduk di bangku SMA (sekitar tahun 80-an); ya hanya koran Kompas lah sumber informasi sehari-hari. Alpa sehari saja tidak baca Kompas, rasanya seperti anak milenial kehilangan smartphone.
Penulis seringkali heran dengan kebiasaan orang lain yang membaca koran hanya seperti sambil lalu, karena ketika asyik dengan Kompas, penulis bisa "betah" membaca hingga tiga atau empat jam. Menurut penulis, membaca Kompas seperti bermain catur, selalu tersedia sumber pertanyaan yang menarik dan menantang pemikiran, hingga saat membaca artikel di halaman lima rasanya waktu berjalan kian cepat. Paling sebal bila sedang asyik membaca artikel di Kompas, ada gangguan yang memaksa penulis untuk memecah konsentrasi. Tapi itu dulu, ketika belum muncul produk digital.
Bahasa jurnalistik yang runut, logis, hemat dan berimbang merupakan daya penarik utama untuk terus membaca, dan itu-lah aspek yang selalu dipelihara oleh Kompas. Betapa luar-biasa pengaruh bahasa yang tertata pada minat si pembacanya; dan ini memang bukan ketrampilan yang mudah, bahkan bisa jadi ketrampilan ini pun membutuhkan semacam bakat; buktinya tidak ada koran lain, setidaknya hingga tahun 2000- an, yang memenuhi selera baca penulis sebagaimana yang ditawarkan oleh Kompas.
Berdasarkan kontribusi yang sedemikian besar dari bapak Jakob melalui anak asuhnya, Kompas; bahasa menjadi semacam "sihir" yang selalu bersifat terbuka dan tumbuh di kancah carut-marutnya dunia keseharian. Sihir itu bukan seperti sihir jadul yang gemar memencilkan diri dan berilusi tentang kebesaran atau keanggunan yang arogan; keanggunan buatan yang selalu cemas pada ragam beda realitas. Sihir yang ditebarkan Kompas justru sihir kebersahajaan yang selalu terbuka sekaligus menantang pemikiran atau rasionalitas dangkal penguasa.Sihir itu menyapa alih-alih memaksa! Terima kasih bapak Jakob Oetama, selamat jalan...