Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Fenomena 2G (Gibran dan Giring), Batas Tafsir Politik

29 Agustus 2020   01:49 Diperbarui: 29 Agustus 2020   01:45 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam membaca tulisan tentang pernyataan performatif, kita harus sangat waspada karena konteks dapat di- atau ter-manipulasi melalui bahasa tulisan. Tulisan dapat mengulang-ulang konteks tertentu sehingga menonjolkan salah satu aspek dari konteksnya, bisa pula melalui "citation" atau melenyapkan sebagian dari rangkaian ujaran, karena pengkondisian dan kita asumsikan secara tanpa pikir-panjang sebagai semacam ekstraksi (ringkasan). Bisa juga melalui "grafting" yakni menyisipkan rangkaian pernyataan yang kita curi ke dalam rangkaian pernyataan lain. 

Berdasarkan semua ini, Derrida menodong kita dengan paradoks; keberulangan dalam bahasa tulis merupakan resiko bahasa sekaligus sebagai kondisi yang memungkinkannya. Tanpa "repeatability" tak akan ada tanda yang dapat kita kenali.

Lalu apa hubungannya semua ini dengan 2G (Giring dan Gibran)? Bila pembaca cermat, maka fenomena 2G ini dapat kita padankan dengan upaya penguasa politik kekinian untuk "menggedor" atau mengguncang "bilief" (kesadaran) politik publik agar (selanjutnya) tidak lagi terpaku pada ranah terjemahan gaya ilmiah baku ke dalam kancah cairnya politik, karena akan rentan terperangkap dan terprovokasi dalam kosa kata konsep politik yang gemar menghilangkan atau mengecilkan makna "nuansa" dan menonjolkan atau meradikalkan keterpusatan maknanya saja.

Kondisi proses kontestasi Gibran adalah kondisi yang bertentangan dengan kondisi proses kontestasinya Giring, meskipun dalam level target yang berbeda. Sekarang, yang akan menyudutkan Gibran dengan sentilan dinasti dalam parpol akan tersudut dengan munculnya fenomena Giring yang berkontestasi "nyaris" dengan  ber-telanjang (dada) dan melompat jauh lebih tinggi ke tangga kursi RI-1.

Penguasa mungkin sengaja, ingin mendidik rakyat untuk tidak terfiksasi pada konsep (versi media pula!), dan berharap publik belajar melihat kondisi gramatika politik secara keseluruhan dan mencermati kemungkinan "plesetan" yang sengaja digaungkan.

Untuk konsep dinasti (dalam parpol) dan konsep oligarki -pun kita harus cermati bersama secara seksama, apalagi kemungkinan "sang jago kesayangan"  dari parpol untuk melompat dan beralih kubu-pun bukan hal yang mustahil (yang pasti akan merugikan partai bersangkutan).

Isu oligarki juga isu jadul sejak jaman orba, bahkan mungkin jauh ke belakang hingga ke era presiden pertama, dan semua rejim tak pernah sepi dari isu tersebut alias belum pernah ada ketuntasannya.Sudahkah itu jadi pertimbangan kita bersama?

Semua yang dihujat oleh para penentang, (bisa jadi) tidak lebih merupakan cermin atau kondisi kelemahan pihak penentang itu sendiri. Apalagi penentang yang secara dadakan muncul dan langsung berteriak lantang tentang kondisi yang belum pernah dikritisi atau diwacanakan sebelumnya; bahkan dalam kondisi keprihatinan bersama, masih "pe de" berdalih tentang gerakan moral! Bukankah ini seperti kelompok yang mendeklarasikan "tujuan menghalalkan segala cara?" Tapi, sah-sah saja demi democrazy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun