Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gagasan dan Metoda

7 Agustus 2020   10:50 Diperbarui: 7 Agustus 2020   10:50 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Akhir-akhir ini penulis lebih senang mengamati  dan merenungkan berbagai komentar kontroversial dari pihak-pihak yang meneguhkan diri sebagai pemrotes atau penyelamat atau bahkan pendobrak. Bukannya ingin membela "status quo", melainkan ingin memperoleh semacam " pencerahan" atau setidaknya sejenis metoda yang layak untuk disebut lebih handal. Sebagai orang yang masih bertahan hidup di tengah generasi milenial, maka yang saya harapkan bukannya penonjolan janji-janji atau deklarasi populis, melainkan, setidaknya, harus berupa peta petunjuk arah yang lebih adekuat. Sekedar protes dari hanya satu sudut kepentingan atau aspek tunggal tak lebih sebagai rengekan cengeng seorang bayi pada orang-tuanya.

harapan minimalis penulis, seorang pemrotes setidaknya harus tahu situasi dan kondisi pihak yang diprotes dengan cara memaparkan kondisi kritis pada umumnya dan kiat atau alur alternatif yang masih mungkin diambil. Cara protes seperti ini belum jadi budaya politik bangsa yang masih berpatok pada budaya patronistik atau aliran-isme; apapun yang dilontarkan sebagai protes oleh patronnya selalu dianggap sebagai yang paling benar. Patronnya bisa seorang politisi, ilmuwan atau apa pun saja; tapi saat ia mulai berkiprah di ranah politik, maka semua pernyataan, sikap dan tindakannya layak dicermati secara obyektif bahkan bila yang dimaksudkan sebagai yang obyektif itu juga meliputi konstelasi atau struktur kuasa dengan dinamika saling keterpengaruhannya. Misalnya, ketika si penguasa itu berasal dari dinasti rezim A, maka secara obyektif ia akan mengakumulasikan semua yang mendukung nilai-nilai rezim dinastinya; dan bukan yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dasar rezimnya. Jelas dan gamblang, bahwa setiap rezim dinasti penguasa akan menuntut semua pihak untuk dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dari dinasti rezimnya; hal ini tak dapat disangkal dan berlaku untuk semua rezim dinasti. Jadi keadilan bukanlah sesuatu di ruang hampa, melainkan sesuatu di ranah konstelasi kekuasaan. Masalah kritisnya terletak pada pilihan,  nilai rezim dinasti mana yang paling "luwes" untuk dapat berhasil menjalankan misi kebangsaan di era milenial, tentunya dengan asumsi dalam konstelasi kesetimbangan kuasa. (Bila kekuasaan bertumpu hanya pada satu dinasti rezim, pertanyaan ini jadi tidak relevan, karena penguasa selalu harus jadi benar).

Cara 'jadul' atau konvensional dengan mendramatisasi kebodohan yang hanya berpegang pada prinsip keadilan di ruang-hampa, sudah seharusnya kita abaikan. Itu cara populis masa lalu, masa ketika informasi masih belum seterbuka dan sederas era kekinian. Jadi, menurut penulis, dramatisasi 'pengkuya-kuya-an' iti sudah tidak relevan karena budaya politik kita harus sudah tidak lagi berpatok pada kebenaran di ruang hampa, melainkan kebenaran yang merujuk pada kondisi konstelasi kuasa:  dan konstelasi kuasa itu dinamis karena mencakup pula aspek penguasaan hasrat dasar masyarakat yang dinamis ( Lagipula, siapa dapat menjamin bahwa itu realitas dan bukan skenario dari sejak awal? Skenario 'jadul" untuk melahirkan imej perjuangan?). Maka, yang lebih aman adalah cara pandang pada aspek nilai rezim dinasti yang akan diusungnya, atau setidaknya metoda yang ditawarkan, bukan janji atau deklarasi sihir. Dan untuk dapat selalu teguh pada pilihan ini tidaklah mudah, karena ada banyak kiat untuk mempermainkan emosi dan simpati kita. Mereka, semua rezim dinasti, berlomba untuk menarik simpati berdasarkan hukum besi "Siapa yang paling dapat mewakili hasrat, dan orientasi pemikiran konstituen terbanyaklah,  yang akan berkuasa".

    Pada tulisan sebelumnya yang berjudul " Politik Konsep", penulis telah paparkan tentang ketiga nilai yang diusung masing-masing rezim dinasti. Dari ketiga macam nilai sistemik tersebut pembaca dapat mendasarkan pilihan, mana yang paling "luwes" dan "terbuka" pada tuntutan dinamika perubahan jaman. Penulis sengaja berfokus pada pilihan kritis tersebut di atas (keluwesan, dan keterbukaan) karena faktor lain seperti keadilan, keberpihakan pada rakyat kecil,  kemajuan tingkat kesejahteraan rakyat, minimalisasi praktek KKN, dan sebagainya hanya mungkin, bila faktor keluwesan dan keterbukaan sudah terpenuhi hingga taraf tertentu. Ketika kita dikuasai oleh rezim dinasti yang kaku dan tertutup, jangan harap semua faktor lain di atas dapat terbayangkan, apalagi terlaksana.

     Berdasarkan kedua faktor kritis ini pula (yakni keluwesan dan keterbukaan) penulis menilai semua protes yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang selama ini vokal dalam memperjuangkan prinsipnya. Hingga detik ini, penulis belum mendapatkan jejak para pemrotes yang unggul pada kedua faktor di atas. Janji dan kehebatan pendapat yang tanpa disertai metoda alternatif, apalagi tanpa rekam jejak perjuangan yang menunjukkan tingkat keluwesan dan keterbukaan sangatlah riskan untuk dijadikan modal pertaruhan. Maka, atas dasar prinsip ini pula, penulis prihatin dengan kelompok yang belum pernah memaparkan metoda alternatif, dan menunjukkan keluwesan serta keterbukaannya dalam memperjuangkan misinya, tapi telah berani berteriak lantang menebarkan janji sihirnya, apalagi menyebut-nyebut kapal yang mulai karam. Bagi penulis, ini bukan masalah kebebasan bersikap dan berpendapat dalam ranah demokrasi, melainkan masalah tanggung-jawab. Mudah saja kita berpendapat dan mencela,  tapi tanpa memberikan metoda alternatif, apalagi pada saat-saat penuh keprihatinan yang serba kompleks dengan simpang-siurnya pijakan yang harus diambil, sama saja dengan memamerkan keangkuhan sekaligus kebodohan. Misalnya, untuk kasus gamblang pandemi covid pun ada dua kontradiksi, di satu pihak ada yang menuntut ketegasan dan kecepatan bertindak pemerintah, di lain pihak masih banyak yang menolak penerapan disiplin pencegahan, bahkan tidak sedikit yang meminta lebih banyak kelonggaran. Jadi, harapan penulis, jadilah manusia dan bukan binatang demokrasi. Terima kasih!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun