Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nadiem Vs Covid: "Ikan Melihat Segala Hal Kecuali Air"

30 Juli 2020   00:06 Diperbarui: 30 Juli 2020   00:04 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tanggapan imajiner paska ILC 28 Juli 2020

Pada tulisan sebelumnya, penulis mencoba memberi tanggapan atas penilaian banyak pihak pada beliau  yang cenderung mendasarkan penilaiannya hanya pada asumsi bahwa bapak menteri tidak paham atau tidak mau tahu tentang sejarah. Dan mereka meyakini hal tersebut berdasarkan apa yang beliau (bapak Nadiem ) katakan sendiri tentang ketidaktahuannya akan sejarah masa lalu dan hanya tahu tentang masa depan. 

Asumsi tentang sejarah yang harus dipahami hanya dari orientasi ke masa lalu itu sudah seperti air bagi sang ikan. Mereka tidak lagi mau mempertanyakan apa makna dari ungkapan lanjutan dari beliau bahwa ia hanya tahu masa depan. 

Pertanyaan kritisnya, mungkinkah kita tahu atau mampu memperoleh visi tentang masa depan tanpa tahu masa lalu? Bukankah dimensi waktu itu bukan bak remah-remah tanpa kaitan? Hanya setelah memahami tentang dimensi waktu yang saling berkaitan atau berkesinambunganlah kita siap untuk mulai mengunyah makna "The history of the present"-nya Foucault.

Penulis tertarik dengan beberapa pertanyaan (atau keberatan?) yang dilontarkan oleh beberapa panelis dalam ILC , terutama keberatan dari bapak Azumardy Alsa (maaf bila salah tulis) dan bapak Darmaningtyas (pakar dan pengamat pendidikan). Ketertarikan penulis bukan karena pretensi bahwa penulis lebih tahu persoalan (menguasai data lapangan) daripada mereka.

Sebaliknya, penulis hanya dapat menangkap semangat atau keprihatinan dasar dari bapak menteri yang kemudian mencetuskan gagasan POP. Lebih atas dasar kemiripan keprihatinan-lah yang mendorong penulis untuk mencoba mencermati dan meletakkan permasalahan mereka pada perspektif "upaya terobosan" dari bapak menteri. 

Dengan demikian, bisa jadi apa yang akan penulis paparkan tidak seratus persen berkesesuaian dengan semangat asli dari bapak menteri. Anggaplah ini sebagai tulisan imajiner penulis yang membayangkan diri sendiri sebagai bapak manteri Nadiem.

Persoalan atau keberatan utama yang penulis tangkap adalah masalah empati ; semangat POP merupakan antitesa dari kondisi keprihatinan yang sedang dan (mungkin sekali masih akan) terus merebak terkait Covid dan juga tentang jurang antara si  kaya dan miskin yang berdampak pada ketimpangan produk pembelajaran yang kian curam di pelbagai dimensi dan sektor.  

Keberatan ini berujung pada himbauan (tuntutan) untuk mengalihkan semua dana segar tersedia ke arah pemberdayaan pada target yang lebih lemah (baik siswa atau guru). Bila keberatan ini sementara kita anggap sah dan benar, pertanyaan penulis adalah apakah sekedar memenuhi tuntutan tersebut merupakan hal paling pantas yang harus dilakukan oleh seorang berkaliber menteri? Tak ada lagikah langkah lain yang lebih cerdas dan lebih luas serta dalam dampaknya?

Langkah lain yang mungkin akan memaksa si ikan untuk dapat lebih melihat dampak kehadiran air pada dirinya yang sebelumnya tak pernah disadari? Langkah yang akan memaksa si ikan untuk sejenak melompat keluar dari habitat airnya? Langkah yang mungkin akan memaksa kita untuk melupakan sejenak semua peran besar kesejarahan masa lalu yang telah menghidupi sekaligus membutakan kita?

Pada titik inilah, imajiner penulis menggapai gagasan bapak menteri. Pada titik ini jugalah, kita berusaha untuk dapat melihat dari sudut pandang yang sama sekali baru dan serentak bersifat menyeluruh aspek terobosannya. Sudut pandang "the history of present" yang hanya dapat  dilihat si ikan yang sudah berada di luar ruang hidup air-nya? 

Apakah si ikan yang menggelepar di daratan masih harus peduli dengan sejarah besar masa lalu si A atau si B (seandainya ada beberapa ikan yang senasib terlempar ke daratan) ataukah ia (mereka) hanya akan berfokus pada tujuan tunggal kembali ke air dengan semangat , daya hidup dan visi yang sama sekali baru?

"The history of present" adalah titik tolak POP, titik tolak si ikan yang harus mencermati segenap kondisi dan realitas kekinian yang serba penuh ancaman fatal, lalu mencoba menangkap alur perjalanan sejarah yang mendamparkannya ke puncak derita di luar ruang hidupnya, dan dengan hanya berbekal itulah si ikan mulai menggapai masa depan loncatan pungkasannya. 

Ikan tak lagi mau peduli dengan sejarah A atau B, ia hanya akan meyakini nasib keterdamparannya kini dan satu-satunya harapan ada pada daya pungkasan lontarannya (secara sendiri atau bersama-sama rekan senasib) yang akan membebaskan serentak memperkaya hidupnya kelak. Itulah "the spirit of POP" yang penulis tangkap dari semangat terobosan bapak menteri. 

Dan visi ini tidak bisa diartikan sebagai visi yang melupakan peran sejarah si A atau si B, visi POP bertolak dari keterdamparan atau kegagalan bukan bertolak dari rasa kepuasan yang memunculkan rasa syukur dan preferensi pada pemberi jasa tertentu. Dengan demikian, patokan utamanya adalah untuk memperoleh senjata pamungkas penyelamat hidup, dan demi mendapatkan satu-satunya alat atau senjata itu, ia terpaksa harus melupakan semua aspek masa lalu dan mulai membuka mata selebar-lebarnya pada fakta kondisi kekinian. 

Jadi, sungguh salah bila cara rigid dan mendesak (kesegeraan) yang dipilihnya diterima sebagai hal yang kurang menghargai atau kurang memenuhi prosedur standar. Bagi si ikan atau penggagas POP, ini adalah situasi gawat darurat yang menuntut generalisasi sama rata dan percepatan atau kesegeraan. Inilah titik tolak dan alasan dasar POP yang mungkin kurang kita sadari, titik tolak ikan sekarat dengan visi "the history of present."

Lalu apa harapan dari POP seperti di atas yang dapat menjustifikasi gagasan ini sebagai gagasan yang jauh lebih bernilai dari gagasan sekedar menghibahkan dana cair ke target kekinian si lemah (siswa atau guru)?  Serupa dengan harapan ikan yang terdampar dan bergulat dengan langkah pungkasan yang akan diambil, si ikan belajar untuk tidak mengulangi sejarah yang membawa nasibnya ke keterdamparan terkini dan akan mulai belajar dengan visi yang samasekali baru. 

Visi yang akan  merevolusi semua aspek pembelajarannya. Contohnya seperti apa ya visi itu? Misalnya, visi pembelajaran bahasa inggris di SMP dengan metoda balajar ala bayi. Bagi mereka yang belum mengalami keterdamparan atau kegagalan fatal dalam belajar bahasa asing, metoda ala bayi ini metoda sangat remeh yang tidak selayaknya dikuasai apalagi dipelajari di tingkat pendidikan setingkat SMP. 

Tapi benarkah demikian? Lalu mengapa sebagian besar mahasiswa tingkat S2 gagal dalam ujian bahasa Inggris lewat ujian TOEFL-nya? Berapa lama waktu yang telah ditempuh untuk menguasai bahasa asing itu? Mengapa masih juga banyak gagalnya? Mungkinkah kegagalan itu lebih disebabkan oleh kesalahan pembelajaran yang menonjolkan peraturan (grammar) atau pemikiran (pendekatan kognitif) semata dan mengabaikan cara pendekatan bayi yang lebih menonjolkan peniruan dan praktek langsung? Jawabnya, dapat anda renungkan sendiri.

Mengapa selama ini kita terbuai dengan pendekatan konvensional yang cenderung teoritis dan mengutamakan aspek pemikiran semata? Mungkin jawaban paling aman untuk pertanyaan ini adalah jawaban si ikan di dalam air kolam atau aquarium; karena kolamnya belum pernah diobok-obok oleh Joshua, maka si ikan senantiasa nyaman dan enggan berpikir untuk melompat sejenak ke luar kolam, si ikan masih terkungkung oleh hukum sejarah kebiasaan kognitifnya, di luar sana hanya ada kematian. 

Maka, apapun yang terjadi  ia memilih mati dalam kolam daripada mati di luar kolam; tapi mengapa harus percaya pada kematian di luar kolam? Pertanyaan ini sama dan sebangun  dengan pertanyaan :"Mengapa kita lebih percaya bahwa pengalihan dana pada si lemah akan jadi kebijakan yang paling efektif bila dibandingkan dengan pilihan kebijakan lain? Mengapa pilihan kebijakan lain selalu dengan cepat ditanggapi sebagai bencana total? Mengapa kita sukar menerima kemungkinan terkecil dengan hasil terbesar?

Wabah covid yang menghantam dan nyaris di luar kendali ini, setidaknya menurut imajiner penulis pada bapak Nadiem, adalah bak akuarium ikan yang terobok-obok oleh tangan tak nampak, bagi kita para ikan. Pilihannya tinggal mati dengan nyaman dan secara berangsur-angsur melalui tingkatan teler dan seterusnya,  atau melompat dengan keberanian seorang petaruh? 

Visi POP adalah visi lompatan yang menuntut tingkat kenekatan atau keberanian dan kelapangan dada tertentu, ini visi terobosan bukan visi pertumbuhan di ranah normal. Visi masa depan yang lebih mengutamakan aspek pertaruhan mati atau hidup berkecukupan. POP adalah gagasan perintis yang diharapkan dapat mengubah sama sekalu cara pandang kita pada dunia pendidikan. 

Cara pandang baru yang kelak tidak lagi berpatokan pada semua ukuran kekhawatiran kita pada dunia pendidikan seperti selama ini, visi merdeka! Jadi semua keberatan para panelis di ILC sangat berterima, namun, sayangnya tidak relevan. Selamat berbingung ria, asalkan tetap bertahan pada taji seorang petaruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun