Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Either Kierkegaard, or Mark Manson? Levinas!

9 November 2019   12:23 Diperbarui: 11 November 2019   08:57 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ini sekedar cukilan narasi, ketika seseorang yang bernama Anton mencoba upaya tuntasannya untuk dapat merealisasikan mimpi abadinya sebagai penulis. Upaya ini ia dapatkan dari saran pak Mark Manson yang menurutnya luar-biasa. Dua ratus kata rusak perhari! Maka terciptalah tulisan ini....

Yang ia ingat, seringkali adalah pengalaman 'perjalanan kaki' jangka panjangnya. Tentang suasana kota, sepinya desa, keunikan penduduk dan rumahnya, sungai-sungai besar, irama malam hari perjalanan, rasa lapar dan haus, tempat ternyaman untuk tidur, pengalaman kecopetan berulang kali menjelang akhir petualangan, dan tentu saja derita akibat kelelahan, sukacita penemuan barang dan uang di jalan, juga bantuan dari banyak orang baik yang hatinya tergerak.

Kini, ia sementara waktu ikut dan tinggal bersama putera kinasihnya yang seorang pengajar di lembaga  pendidikan yang cukup kondang. Ruangan tempat tinggalnya beratap beton-tulang dan dengan jarak ketinggian yang hanya tiga meter kurang lebih. 

Di dekat ibu kota, ruangan ini pastinya cukup panas. Tapi untunglah, robot peniup angin setia menemaninya tidur, meskipun kepekaannya untuk segera masuk angin. Setidaknya robot itu membuat nyamuk enggan menantang arus angin untuk mendekati kulit lezatnya. 

Seharian kerjanya hanya sedikit bersih-bersih, cuci baju puteranya, dan sebagian besar sisa waktunya habis untuk membaca kumpulan buku milik koleksi putranya tersebut. 

Kini kumpulan buku itu sudah kurang menarik miinatnya, karena sudah dibaca berulang-kali. Tapi selalu ada hal menarik yang terlewatkan yang ia temukan dalam kumpulan buku tersebut. Anehnya, ia temukan hal yang terlewatkan itu dalam bentuk mimpi di kala tidur malam atau siangnya. 

Sekali dalam sehari, ia keluar kamar untuk membeli nasi bungkus di warung Padang termurah yang letaknya agak jauh dari rumah kontrakan itu. Melangkah acuh dengan wajah tertunduk, ia coba dapatkan penenang pikirannya yang kalut di deretan kerikil-kerikil jalanan. 

Kali ini, kali terakhir upayanya untuk mewujudkan mimpi kegilaannya. Ia hanya akan berlatih tanpa hirau akan hasilnya. Masa bodoh! Yang penting menulis! Ini saran berkesan untuknya dari seorang Mark Manson: minimal dua ratus kata per hari! Aspek penulisan yang tak mudah ditaklukkannya adalah 'recapture'. 

Ketika hasil pengalaman ditangkap lalu diungkap dengan ungkapan yang 'pas', pada titik inilah, kepekaan akan nilai dilebur bersama kecemerlangan gagasan tentang 'unitas'. Kelemahan dirinya yang paling menonjol dan berkontradiksi dengan upayanya pada titik ini adalah kerentanannya terhadap rasa cemas. Kegalauan menumpulkan kepekaan!

Kerentanan pada kegalauan ini semestinya diatasi terlebih dahulu. Berlatih untuk setia pada apa yang ada, serentak membuka diri pada seluas-luasnya kemnungkinan. Dunia adalah apa yang ada. Sebelum melahirkan ragam kemungkinan kemenjadian. Di atas tumpuan inilah, busurnya baru bisa dibengkokkan dan kayu pun berteriak.

Salah satu perhatian yang menarik perhatiannya saat ini adalah sejarah tentang pohon beracun upas yang konon terdapat di daerah Belambangan. Cerita tentang kedahsyatan uap beracunnya yang kerap terbawa bersama hembusan angin dan yang mematikan. Misteri pohon upas ini menurutnya sedahsyat misteri kegigihan dan keberanian seorang gadis kecil Pakistan penentang rejim Taliban terkait hak perolehan pendidikannya. Juga serupa dengan keteguhan dan keluguan hati seorang Anne Frank, serta kebulatan hati Kaliayev yang menolak sakramen di hadapan eksekusi hukum gantung.

Kekuatan dahsyat itu , misteri keberanian untuk berjibaku demi ide yang diyakini, bak keunikan pohon upas, tak bisa lain bersumber dari Yang Lain! Ernest Becker yang berujar tentang "antinomi tragis" dalam teori "proyek abadi"-nya menjelaskan akrabnya konsep kematian dengan para remaja belia. Merekalah pencipta "proyek keabadian" sejati!

Masalah nilai keberanian ini jugalah yang menyebabkan ia kurang tertarik dengan filsuf (atau teolog) Kierkegaard. Bukan pada "apa yang dijelaskannya", melainkan pada apa yang mendorongnya untuk menuliskan praksis kekristenan yang terdegradasi, justru di era ketika protes keras mencapai puncaknya pada segala aspek terkait kekristenan itu sendiri. 

Meskipun tulisannya juga mengkritisi kehidupan gereja, tapi tetap saja ia tidak menjawab pertanyaan inti "Mengapa ajaran-Nya (yang sudah dan teramat benar) bisa disesatkan atau terkorup, bahkan oleh orang-orang yang diyakini telah beroleh berkat-Nya?" 

Jadi masalah utamanya, menurutku, bukan lagi menjelaskan-ulang (berdasarkan pendekatan eksistensial) apa yang telah dijelaskan dan diberikan contoh konkrit oleh tuhan Yesus sendiri (dan dipraktekkan secara benar oleh para penganut purba), melainkan faktor sosio historis apa yang mendorong 'kesesatan' berlarut-larut bahkan oleh orang-orang yang diyakini sebagai pilihan-Nya? 

Singkatnya, bila kebenaran yang dipaparkan oleh Kierkegaard itu kurang lebih sama dengan kebenaran yang telah dipraktekkan oleh para penganut Kristen awal/purba, lalu apa artinya ia mengulangi kebenaran serupa (dari terang baru yang bernama eksistensialisme), justru di saat puncak krisis, hasil dari tumpukan kesesatan sebelumnya yang berlarut-larut terhadap ajaran-Nya?

Bukankah akan lebih bermakna,  bila ia menulis tentang sejarah faktor-faktor kritis yang memunculkan kesesatan dalam praksis hidup kekristenan dan kiat-kiat pembenaran serta berbagai aspek lain yang dapat dipegang teguh oleh generasi berikutnya agar tidak mengulangi kesalahan serupa atau bahkan kesalahan yang lebih parah? 

Bila masalahnya ada pada sifat eksistensialistis atau individual, lalu apa maknanya Yesus menjadikan Paulus sebagai batu karang kerajaan-Nya di dunia? Atau karena karakteristik kekristenan yang tidak kontemplatif atau patuh pada alam melainkan bersifat penaklukan pada alam? Bila demikian, ini terkait dengan ajaran-Nya pula. Nietzsche pun  berujar, bahwa inti dari ajaran Yesus adalah amalan-amalan dan kesiapan spiritual seseorang untuk melakukan amalannya tersebut.

Yang terkini, bahkan Mark Manson, dengan "opening salvo"-nya "sikap masa bodoh yang berseni" menonjolkan aspek tanggung-jawab individu sebagai titik pencerahan baru (Mungkin tak lama lagi akan muncul Kierkegaard baru yang mengabarkan kekristenan dengan etos terkini dan terrelevan.)

Pertanyaan yang muncul, sebagaimana yang kita ajukan pada Sartre terkait masalah kebebasan. Apakah situasi kebertubuhan, khususnya realitas yang berhubungan dengan relasi kuasa multiplikasinya Foucault, tidak punya peran menentukan? Mungkinkah kita mampu untuk  tetap berpegang pada prinsip 'masa bodoh' di jejaring kekuasaan yang katanya kian menggurita dan mencekam ketidaksadaran individu- selama kita tetap berpegang pada filsafat yang berpusat pada 'aku' (menurut Levinas filsafat pada "Yang Sama")? Mungkin, sebelum dapat mencapai pilihan sikap masa bodoh kita sudah kepayahan di terpa badai kuasa yang senantiasa menyeret kecenderungan korupnya.

Berdasarkan alasan di atas, saya lebih tertarik dengan filsafatnya Levinas, dengan sapaan asimetris pada Ketidakberhinggaan liyan. Pada titik ini kita sudah lepas dari Yang Sama (aku) dan mengalami 'kejutan' nurani (titik tolak filsafatnya) pada wajah-wajah liyan yang notabene sebagai perujudan Yang Tak Berhingga (alih-alih sebagai alter-ego kita).

Di sini, tanggung-jawab memperoleh kepenuhan makna pada sang liyan (Aku adalah engkau, bila aku adalah aku, kata Paul Celan) yang serentak bersifat asimetris.

Dalam terang Levinas, "masa bodoh" berarti masa bodoh dengan kepentingan diri sendiri, seketika saat kita mengalami 'kejutan' dalam wajah-wajah liyan sebagai wujud dari Yang tak Berhingga. Pada titik inilah subyek menjadi sungguh subyek. Juga "masa bodoh"  terhadap tanggapan liyan  atas reaksi keterkejutan subyek yang bertanggung-jawab (prinsip asimetris).

Bekasi 09 Nov 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun