Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Either Kierkegaard, or Mark Manson? Levinas!

9 November 2019   12:23 Diperbarui: 11 November 2019   08:57 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kekuatan dahsyat itu , misteri keberanian untuk berjibaku demi ide yang diyakini, bak keunikan pohon upas, tak bisa lain bersumber dari Yang Lain! Ernest Becker yang berujar tentang "antinomi tragis" dalam teori "proyek abadi"-nya menjelaskan akrabnya konsep kematian dengan para remaja belia. Merekalah pencipta "proyek keabadian" sejati!

Masalah nilai keberanian ini jugalah yang menyebabkan ia kurang tertarik dengan filsuf (atau teolog) Kierkegaard. Bukan pada "apa yang dijelaskannya", melainkan pada apa yang mendorongnya untuk menuliskan praksis kekristenan yang terdegradasi, justru di era ketika protes keras mencapai puncaknya pada segala aspek terkait kekristenan itu sendiri. 

Meskipun tulisannya juga mengkritisi kehidupan gereja, tapi tetap saja ia tidak menjawab pertanyaan inti "Mengapa ajaran-Nya (yang sudah dan teramat benar) bisa disesatkan atau terkorup, bahkan oleh orang-orang yang diyakini telah beroleh berkat-Nya?" 

Jadi masalah utamanya, menurutku, bukan lagi menjelaskan-ulang (berdasarkan pendekatan eksistensial) apa yang telah dijelaskan dan diberikan contoh konkrit oleh tuhan Yesus sendiri (dan dipraktekkan secara benar oleh para penganut purba), melainkan faktor sosio historis apa yang mendorong 'kesesatan' berlarut-larut bahkan oleh orang-orang yang diyakini sebagai pilihan-Nya? 

Singkatnya, bila kebenaran yang dipaparkan oleh Kierkegaard itu kurang lebih sama dengan kebenaran yang telah dipraktekkan oleh para penganut Kristen awal/purba, lalu apa artinya ia mengulangi kebenaran serupa (dari terang baru yang bernama eksistensialisme), justru di saat puncak krisis, hasil dari tumpukan kesesatan sebelumnya yang berlarut-larut terhadap ajaran-Nya?

Bukankah akan lebih bermakna,  bila ia menulis tentang sejarah faktor-faktor kritis yang memunculkan kesesatan dalam praksis hidup kekristenan dan kiat-kiat pembenaran serta berbagai aspek lain yang dapat dipegang teguh oleh generasi berikutnya agar tidak mengulangi kesalahan serupa atau bahkan kesalahan yang lebih parah? 

Bila masalahnya ada pada sifat eksistensialistis atau individual, lalu apa maknanya Yesus menjadikan Paulus sebagai batu karang kerajaan-Nya di dunia? Atau karena karakteristik kekristenan yang tidak kontemplatif atau patuh pada alam melainkan bersifat penaklukan pada alam? Bila demikian, ini terkait dengan ajaran-Nya pula. Nietzsche pun  berujar, bahwa inti dari ajaran Yesus adalah amalan-amalan dan kesiapan spiritual seseorang untuk melakukan amalannya tersebut.

Yang terkini, bahkan Mark Manson, dengan "opening salvo"-nya "sikap masa bodoh yang berseni" menonjolkan aspek tanggung-jawab individu sebagai titik pencerahan baru (Mungkin tak lama lagi akan muncul Kierkegaard baru yang mengabarkan kekristenan dengan etos terkini dan terrelevan.)

Pertanyaan yang muncul, sebagaimana yang kita ajukan pada Sartre terkait masalah kebebasan. Apakah situasi kebertubuhan, khususnya realitas yang berhubungan dengan relasi kuasa multiplikasinya Foucault, tidak punya peran menentukan? Mungkinkah kita mampu untuk  tetap berpegang pada prinsip 'masa bodoh' di jejaring kekuasaan yang katanya kian menggurita dan mencekam ketidaksadaran individu- selama kita tetap berpegang pada filsafat yang berpusat pada 'aku' (menurut Levinas filsafat pada "Yang Sama")? Mungkin, sebelum dapat mencapai pilihan sikap masa bodoh kita sudah kepayahan di terpa badai kuasa yang senantiasa menyeret kecenderungan korupnya.

Berdasarkan alasan di atas, saya lebih tertarik dengan filsafatnya Levinas, dengan sapaan asimetris pada Ketidakberhinggaan liyan. Pada titik ini kita sudah lepas dari Yang Sama (aku) dan mengalami 'kejutan' nurani (titik tolak filsafatnya) pada wajah-wajah liyan yang notabene sebagai perujudan Yang Tak Berhingga (alih-alih sebagai alter-ego kita).

Di sini, tanggung-jawab memperoleh kepenuhan makna pada sang liyan (Aku adalah engkau, bila aku adalah aku, kata Paul Celan) yang serentak bersifat asimetris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun