Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Garis Keras dan "Kucumbu Tubuh Indahku"

29 April 2019   13:58 Diperbarui: 29 April 2019   14:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena Daerah Garis Keras dan
"In Memory of My Body"


"What we play is life"
(Louis Armstrong)


Akhir-akhir ini ada dua berita menarik, yang menurutku punya keterkaitan satu sama lain. Berita pertama, tentang protes dari orang-orang yang tidak terima daerahnya diberi label sebagai daerah garis keras oleh bapak Mahfud MD, sedangkan berita kedua tentang penolakan walikota Depok pada ijin pentas lakon drama "In Memory of My Body" (sutradara Garin Nugroho) dengan alasan pembenaran LGBT.

Bpk. Mahfud MD telah mengklarifikasi bahwa istilah garis keras untuk wilayah-wilayah tertentu di negeri ini adalah istilah dalam ilmu politik dan telah jamak disebut-sebut oleh para politisi tanpa konotasi negatif apapun.Garis keras itu artinya daerah yang penduduknya fanatik dan setia pada ajaran agamanya. Istilah garis keras dalam ilmu politik dapat disejajarkan dengan istilah lain seperti konservatif.

Kedua penolakan atau penyangkalan tersebut di atas, terhadap hal-hal yang merupakan nadi kehidupan yang sangat wajar dan bersifat fundamental (nadi konsep politik dan nadi seni teater) jadi menarik karena merupakan penanda "keterasingan" atau "keterlepasan" hidup beragama dari akar nafasnya yang membumi.

Yang satu baper dengan label, yang lain panik dengan konten. Ini-lah dilemma abadinya masyarakat korban perselingkuhan hasrat kuasa (politik) dengan hasrat kemurnian ajaran agama (attahkim, yg dipotret oleh khawarij).

Penulis jadi teringat akan adanya salah satu perda syariah di suatu daerah yang isinya melarang pemberian sedekah pada setiap gelandangan jalanan. Bila kedapatan terjadi pemberian sedekah, maka si penerima dan si pemberi sedekah akan dikenai sangsi denda uang atau hukuman. Sayangnya, dalam aturan tersebut tidak didefinisikan secara rinci siapa yang layak diberi label gelandangan jalanan. Aturan ini juga bersifat hipokrit, karena (legislator) masyarakat daerah tersebut justru hidupnya ditopang oleh para gelandangan politik karbitan. Cukup ironis! Tapi sangat strategis, karena dampaknya para gelandangan jadi lebih suka berkumpul di daerah yang lebih toleran, dan pada akhirnya, daerah yang awalnya toleran jadi kian keras dan radikal karena dipusingkan oleh banyaknya gelandangan jalanan impor. Sungguh strategi yang ciamik! Karena tanpa harus bersusah payah, sekali tepuk dua nyawa (predikat kota terbersih plus tersyariah).

Bagaimanapun kita perlu mencermati pesan filsuf di bawah ini bila visi kemajuan hendak kita wujudkan:

Philosophy (or a region?) makes progress not by becoming more rigorous but by becoming more imaginative. (Richard Rorty)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun