Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pangkal Terjungkalnya Paslon

16 April 2019   07:45 Diperbarui: 17 April 2019   21:39 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kubu Yang Terlampau Serius

"Keseriusan berlebih pada arti hidup akan memunculkan pertanyaan yang berpangkal dari perspektif keseriusan berlebih itu sendiri" (Thomas Nagel)

Menjelang akhir masa kampanye pilpres 2019 ini ada satu kejadian yang penulis anggap agak fenomenal dan perlu kita cermati bersama. Peristiwa tersebut muncul manakala beberapa tokoh panutan agamis terkemuka mempublikasikan narasi putusan final keberpihakan mereka pada salah satu kubu paslon secara berjemaah (meskipun dalam koridor saling antri) di yutup.

Ada narasi suara hati, narasi demi sempurnanya pencermatan, narasi firasat mimpi, dan sebagainya. Seorang dari kalangan militer menarasikan alasan putusan keberpihakannya dengan argumen deprivasi anggaran militer vs hasrat heroik militeristis.

Semua narasi dan putusan mereka itu, menurut penulis, sah-sah saja. Juga berterima dari sudut publik yang sedang berpesta demokrasi.

Namun, ada beberapa hal yang menggelitik hasrat ingin-tahu penulis. Sialnya, hasrat tersebut tak mudah diredam dan bahkan bertiwikrama jadi pertanyaan yang memusingkan kepala kecil penulis.

Pertanyaannya adalah "Sedemikian serius dan gawatkah keputusan keberpihakan tersebut sehingga sosok "sekaliber" mereka (ulama terkemuka pula) baru mampu memutuskan keberpihakannya di penghujung pilpres? Bila proses itu memang sungguh sangat gawat, mengapa harus dipublikasikan alih-alih dirahasiakan? Suara atau elektabilitas-kah sasaran utamanya?" Bila itu sasarannya, pertanyaan selanjutnya adalah, "Apakah kita layak mempertanyakan kredibilitas narasi yang mereka ajukan?"

Jawaban atas pertanyaan tersebut penulis serahkan pada suara hati pembaca.
Penulis hanya melampirkan pernyataan seorang filsuf seperti terkutip di atas (di bawah judul) untuk membuka perspektif pemikiran. Lebih lanjut, penulis juga mengaitkan kutipan di atas dengan pernyataan filsuf lain yang terkenal dengan tema absurditas yakni Albert Camus yang berdakwah bahwa

" Sekedar perjuangan mendaki sampai puncak itu saja, sudah cukup untuk meluapkan hati mereka..."

Mungkin berdasarkan alasan di atas pula, akhir-akhir ini ada beberapa dakwah dari kalangan ulama serumpun yang ditentang oleh ormas tertentu. Bukan karena isi dakwahnya, melainkan karena alasan kredibilitas keberakhlakan si penyampai dakwah. Who knowssssss?

Penulis jadi ingat kiprah penulis di dunia kepenulisan, kian serius dan tegang akan semakin amburadul tulisannya...He.he.he  Salam Maiyah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun