Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Piranti Lunak vs Piranti Keras dalam Pilpres 2019

21 Maret 2019   13:15 Diperbarui: 21 Maret 2019   13:28 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilpres 2019:
Kontestasi antara
Piranti Lunak vs Piranti Keras

Berdasarkan amatan saya, perbedaan fundamental di antara kedua kubu paslon sudah mulai mengerucut ke persoalan peran atau fungsi "utama" dari seorang kepala negara. Perbedaan ini, merupakan konsekuensi logis bila kita bertolak dan merunut dari perbedaan "inti keberhasratan" (atau inti sumber nilai?) yang dimiliki atau di anut oleh kedua kubu.

Kubu paslon 1 (petahana) lebih didominasi oleh keberhasratan akan ketuntasan purna "piranti lunak" (visi-misi kepemimpinan), sedangkan kubu paslon 2 (penantang) lebih didominasi oleh hasrat keberunggulan "piranti keras" (sosok/figur kepemimpinan).

Kubu petahana menonjolkan nilai-nilai fungsi alih-alih figur, karenanya kerap diberi stigma "presiden sebagai petugas partai". Hal ini dapat kita pahami, karena yang jadi misi utamanya adalah transformasi ke nilai- nilai demokrasi kerakyatan melalui sosok presiden. Jadi yang menjadi patok adalah proses pendewasaan dan kemandirian rakyat yang sekian lama telah terdeprivasi (warisan rejim sebelumnya) melalui keteladanan sosok pimpinan yang mau terlibat dalam kerja dan kerja (ekstrim negatifnya dapat terjebak dalam struktur "laku kompulsif"). Pun kubu ini lebih menonjolkan dimensi "isi" atau piranti lunak yang harus mengolah dampak kebersejarahan rejim dengan realisasi visi-misi kekinian dan ke-kelak-kan-nya. 

Dengan demikian, idealisasi sosok (hardware) kepemimpinan hanya berterima sejauh mendukung proses transformasi nilai kemandirian (ekonomi utamanya) dan kedewasaan berdemokrasi rakyat.

Proses transformasi ini akan relatif jauh lebih mudah dan sederhana bila kita membutakan diri pada fakta adanya ragam "sejarah traumatik pengkerdilan" yang menjangkit sebagian besar rakyat (terkait kebersejarahan trauma dapat juga dilihat dalam postinganku sebelumnya yang berjudul "kiamat terdahsyat"). Bila meminjam istilah dari cak Nun, bangsa rajawali ini telah berubah jadi seperti burung derkuku dalam sangkar. 

Bangsa ini telah tercerabut dari akar kesejatiannya dan ketercerabutan tersebut mengerdilkan segenap aspirasi. Untuk dapat memulihkan kerajawaliannya tidaklah sederhana apalagi mudah. Diperlukan strategi pendekatan yang bersifat menyeluruh dan untuk mudahnya dapat dianalogikan seperti perubahan piranti lunak dari satu sistem operasi ke sistem operasi lain. Misal dari windows ke android.

Perubahan seperti ini menuntut perubahan laku atau nilai keteladanan dasar berkepanjangan,  bukan semata persoalan "akal sehat" (yang bukan "kw" sekalipun). Akar masalahnya adalah bahwa ilusi keberhasratan yang terlanjur sesat itu bak rangkaian bangun kartu domino yang harus kita tingkatkan tanpa ada keruntuhan fatal. Mitos demi mitos harus diperbaharui dengan yang paling relevan tanpa harus memunculkan "gejolak" yang berarti.

Berdasarkan visi-misi transformasi total itulah diperlukan sosok Jokowi. Sosok yang selalu bergerak penuh keseimbangan (meski untuk itu ia kerap dilecehkan sebagai "petugas partai" atau sebagai sosok pimpinan yang tak mudah diprediksi).

Sedangkan kubu lawan, sebaliknya lebih memprioritaskan figur alih-alih nilai fungsi kepemimpinan. Idealnya, perbedaan ini dapat saling melengkapi alih-alih dipertentangkan, tapi inilah realita tren politik kepentingan golongan yang terlanjur akut.

Jadi tak heran bila kubu lawan lebih menonjolkan aspek "akal sehat" kekinian. Terlepas dari persoalan akal sehatnya itu "kw" atau  "ori". Bak memamerkan kecanggihan perangkat keras barunya, kubu ini kurang peduli dengan kebersejarahan dan kompleksitas konteks-nya. Yang penting kami punya perangkat (yang dianggap dan diyakini sebagai) "super" dan handal untuk semua macam "error". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun