SETAN KEBENARAN
Salah seorang teman seperjalanan pernah secara sambil lalu mengajukan pertanyaan sederhana yang cukup mengesankanku.
"Ton, apa atau bagaimana sih cinta/kasih sederhana itu?"
Sejenak kutercenung dengan pertanyaan tentang kesederhanaan yang dilekatkan atau dikaitkan pada hal yang (setidaknya  menurutku) sangat tidak sederhana. Bahkan sangat rumit! Karena saat kita mulai mencintai atau mengasihi seseorang secara tulus dan sederhana, ketika itu jugalah kita mengalami revolusi dialektis total kedirian. F
okus keterarahan diri, mendadak berbalik 180 derajat dan ini menyebabkan goncangan keseimbangan pada keseluruhan aspek lahir maupun batin. Peningkatan intensitas fokus keterarahan hanya pada subyek atau obyek yang dicinta, kemungkinan besar akan melonjakkan tingkat daya kreasi sang pecinta (dan yang dicintai).Â
Inilah ciri khas utama yang membedakan antara hasrat si pecinta dengan hasrat si pencari kebenaran. Yang pertama meluruhkan ego (melalui proses menjadi) sedang yang kedua mengukuhkan ego (melalui proses peneguhan identitas kepemilikan).
Kembali ke masalah kesederhanaan cinta, aspek kritisnya menurutku ada pada kehendak untuk berempati. Apa sih empati itu? Banyak definisi yang dibuat terkait empati, tapi yang paling relevan adalah bahwa empati itu kesediaan untuk menerima totalitas liyan tanpa reserve. Bak sinar mentari yang menopang tumbuh kembang tanaman tanpa syarat dan pandang bulu.
 Contoh paling relevan dari empati dan tan empati dapat kita temui dalam ragam komentar (kritik) terkini terkait pilpres di medsos. Kritik yang disertai daya empati adalah kritik yang muncul dari pemahaman total pada subyek atau obyek kritikannya.Â
Kritik pada tataran ini tidak sekedar mencari kelemahan aktual yang ada pada sasaran kritik, melainkan mengambil sudut pandang sasaran kritk, mengkaji kesahihan permasalahan berdasar sudut pandang tersebut, baru kemudian membandingkan efektivitasnya dengan ragam alternatif versi si pengkritik.Â
Jadi kritiknya bertujuan untuk menemukan solusi terbaik demi keseluruhan entitas, bukan sekedar untuk melemahkan lawan dan mengukuhkan pendapatnya sendiri. Kritik di medsos jadi tidak sehat karena bertolak dari asumsi kritik nir-empatik yaitu asumsi bahwa setiap pertentangan akan menghasilkan kematangan.Â
Menurutku ini kurang tepat, pertentangan tak akan melahirkan kematangan, bahkan sebaliknya akan memunculkan kekerdilan. Pertentangan yang menghasilkan kematangan adalah pertentangan yang memunculkan sintesa, yaitu pertentangan organik (atau empatik) alih-alih pertentangan segmental atau parsial.Â