Mohon tunggu...
ANTONIUS ALI WUTUN
ANTONIUS ALI WUTUN Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN PADA STKIP YPUP MAKASSAR

BEKERJA SEBAGAI DOSEN PADA STKIP YPUP MAKASSAR. PENDIDIKAN TERAKHIR S3 PADA PROGRAM LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musim Buah dan Kejujuran

31 Mei 2020   07:00 Diperbarui: 31 Mei 2020   07:15 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah fenomena menarik di kota Makassar tat kala musim buah tiba. Hampir semua stand penjual buah memajang tagline' timbangan jujur' atau 'timbangan normal'. Menarik disimak karena sesungguhnya bukan buah-buahan yang dipromosian. Dan mengapa timbangan yang menjadi topik serta diberi label jujur dan normal.

Ilmuwan Sosiolinguistik, Spolsky (1988) mengatakan bahwa penggunaan bahasa atau istilah dalam sebuah kelompok masyarakat mencerminkan realitas sosial di dalam kelompok tersebut. 

Penggunaan bahasa merupakan ciri yang paling mudah untuk mengidentifikasi prilaku sosial sebuah kelompok masyarakat. Tentu saja muncul istilah timbangan jujur dan normal lahir dari prilaku sosial dalam kelompok para penjual buah.

Secara leksikal timbangan sebagai kata benda merujuk pada alat untuk menimbang atau mengukur berat benda. Hal ini biasa dalam transaksi jual beli. Ukuran berat timbangan berdampak pada nilai rupiah yang harus dibayar. Sedangkan kata jujur adalah kata sifat yang berarti lurus hati, tidak curang dan iklas. Tentu saja ini merujuk pada kwalitas karakter diri seseorang. 

Timbangan jujur adalah gaya personifikasi untuk mengatakan bahwa timbangan yang adalah benda mati memiliki sifat jujur seperti manusia. Sedangkan kata normal merujuk pada keadaan yang sesuai dengan aturan atau kaidah yang ada. 

Normal pun merujuk pada apa adanya seperti semula, tanpa rekayasa atau manipulasi serta tidak cacat. Dengan demikian kedua frase ini pada dasarnya menggambarkan kondisi timbangan yang apa adanya, tanpa rekayasa, tanpa manipulasi dan kecurangan di dalamnya. Dengan demikian tidak ada yang dirugikan ketika menggunakan timbangan tersebut.

Penggunaan istilah 'timbangan jujur' dan 'timbangan normal' masuk dalam kategori bahasa iklan/promosi. Namun ini sepertinya di luar kebiasaan karena bahasa iklan biasanya menyentuh kwalitas produk dan harga yang hendak diiklankan. 

Dalam iklan yang digunakan penjual buah ini tidak berbicara tentang kwalitas buah yang dijual. Mengapa mereka tidak menggunakan istilah lain seperti 'buah segar, tanpa pupuk kimia, matang di pohon'. Namun sebaliknya menggunakan alat timbangan untuk menarik minat pembeli. Mengapa demikian?

Sebagaimana diungkapkan oleh Spolsky bahwa penggunaan bahasa /istilah adalah refleksi relitas prilaku sosial dalam kehidupan masyarakat. Maka muncul istilah 'timbangan jujur' dan 'timbangan normal' menggambarkan adanya praktik kecurangan dengan mengotak-atik alat timbangan dalam bertransaksi. 

Timbangan tidak lagi berfungsi normal. Alat timbangan tidak lagi menunjukan data akurat ukuran berat. Jika berat yang sama ditimbangkan pada alat timbangan lain yang normal maka akan berbeda. Intrik-intrik ini muncul dari sifat ketidakjujuran oknum tertentu. Ada sifat egois untuk mencari keuntungan besar dan merugikan pembeli. 

Fenomena ini lalu dipakai oleh para penjual buah yang masih memiliki kejujuran untuk melawan praktik kecurangan oleh oknum tertentu. Dengan demikian alat timbangan menjadi daya magis untuk membangun citra positif. Kinerja alat timbangan sangat bergantung pada manusia yang mengoperasikannya. 

Dari pribadi yang beritikat baik, jujur maka timbangan akan bekerja jujur dan normal sesuai dengan fungsinya. Para penjual buah yang masih memiliki kejujuran memakai fenomena ini sebagai kekuatan untuk menarik minat pembeli. Mereka hendak mengatakan bahwa mereka tidak mengambil lebih dari yang seharusnya. Mereka tidak merekayasa alat demi meraup keuntungan pribadi. Mereka hendak berbuat sesuai dengan kaidah dan norma yang berlaku. 

Dalam konteks ini mereka berpesan kepada para pembeli agar waspada saat membeli buah. Pada titik ini para penjual buah tidak mengiklankan kwalitas buah tetapi kwalitas prilaku dan nilai kejujuran sebagai perwujudan nilai budaya 'siri' (harga diri) manusia suku Bugis-Makassar. Kejujuran adalah prinsip hidup yang harus dijunjung tinggi. Kejujuran akan menimbulkan kepercayaan. Dengan modal kepercayaan maka akan membawah keberkahan yang melimpah.

Pesan yang hendak disampaikan oleh para penjual buah adalah kejujuran hendaknya menjadi karakter setiap anak bangsa dalam kehidupan sosial. Dengan adanya kejujuran maka kehidupan ini akan memberikan kesejahtraan kepada semua orang. 

Dengan modal kejujuran dan kepercayaan kita akan mendapatkan berbagai reseki dalam kehidupan. Jika anda kehilangan kejujuran dan kepercayaan maka anda kehilangan segalanya. Mari kita belajar menjadi pribadi yang jujur agar menghasilkan buah-buah kejujuran dalam seluruh aspek kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun