Mohon tunggu...
Antonius Ruron
Antonius Ruron Mohon Tunggu... Guru - Guru Penjas Sekolahan

You'll never write alone

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Suami & Istri Vs Ego Suami (Refleksi Satu Tahun Pernikahan)

26 November 2022   17:00 Diperbarui: 27 November 2022   16:44 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Antonius Ruron bersama istri Maria Renha Rosari

Judul yang berat untuk sebuah perayaan perjalanan cinta yang telah dibingkai, disakralkan dalam sebuah Ikatan Suci. Kami berterima kasih kepada teman-teman, bapak/ibu saudara dan saudari yang turut membantu, mendoakan dan mendukung perjalanan kami.

Kembali ke judul ini tulisan ini.

Pengalaman masa kecil, ketika remaja hingga dewasa seringkali kita dipaksa untuk paham bahwa pria berkuasa sepenuhnya pada wanita. "Saya adalah kapten untuk bahtera rumah tangga kita". Kalau pekerjaan sehari-hari suami adalah nelayan maka pikiranya bisa saja seperti ini. "Hei kamu (istri) ABK, buang jangkar dan kita pancing ikan merah di sini". Beri perintah dengan gagah dan penuh kuasa padahal  masih di laut yang dalam nya cuman setinggi lutut.

Dalam berbudaya kerap kali perempuan mendapat urutan ke sekian saat makan, atau perempuan belum bisa makan kalau lelaki belum selesai. Kebiasan seperti ini turut andil dalam pembentukan karakter, khususnya "ego seorang pria". 

Tentu bapak-bapak yang sudah matang, sudah sangat dewasa mungkin tidak lagi terjaring dalam lingkaran ini, tetapi kami yang masih usia-usia pertumbuhan, yang makan nasi masih bisa tambah dua kali, ini akan kami jalankan amanah, warisan tersebut dengan polos dan lugu tanpa paham "dosa-dosa" bisa saja muncul yang menjadi ikutanya.

Ketika karakter tersebut di bawah masuk ke dalam rumah tangga maka, sebelum saya lanjutkan, mohon ikuti saran ini, bertobatlah ! Tobat dan kembali ke jalan yang benar. Ikuti perintah Yohanes Pembabtis, natal sebentar lagi.

Jika sudah masuk ke dalam rumah tangga maka kita tidak akan menyadarinya sampai ada problem besar yang mengejutkan, memaksa pikiran dan fokus kita hanya pada hal-hal yang tidak produktif, mental terganggu dan berpotensi pada penyakit lambung.

Kadang kita berpikir, wah kami berdua baik-baik saja, tidak ada masalah serius, hanya hal-hal kecil saja, seperti buang handuk sembarang, piring kotor tidak dibereskan. Adik-adik ku yang manis, jangan dilanjutkan untuk menganggap itu hal receh, lelucon, kebiasaan buruk yang harus dimaklumi. Kalau kita hidup dengan orang tua kita, Ibu kita, mama kita, silahkan saja seperti itu. Tetapi jika sudah menjadi bapak muda yang gaul dan ganteng sebaiknya jangan.

Hal lain yang semula dianggap biasa karena mendapat restu adalah keluar malam. Memang tujuannya jelas, arahnya pasti, jaraknya cuman 5 menit dari rumah namun kebiasaan ini sebaiknya tidak dipelihara. Sebagai lelaki sering kita beranggapan bahwa berkegiatan produktif adalah positif, namun di sisi lain ada hal negatif lain yang sedang ditanam.

Sering kita tidak sadar bahwa ada sinyal-sinyal untuk melarang berkegiatan terlalu rutin, atau mungkin larangan tersebut terlalu ringan, terlalu mudah untuk dicounter dengan alasan yang kuat. Lama kelamaan tidak akan ada lagi larangan, hanya ada restu yang memudahkan segala rencana, pikiran kita, namun ternyata menyimpan amarah, menyimpan perih dan berujung pada unjuk sikap di luar prediksi dan prasangka kita. 

Kembali lagi diingatkan bahwa semuanya akan menjadi konsen kita, menjadikan kita sadar saat hal kecil tadi telah berkembang menjadi sesuatu yang membuat shok dan menguras emosi bisa saja air mata mengalir dari yang mirip embun pagi sampai hujan bulan Februari dan kembali menjadi kering.

Majas hiperbola memang sengaja ditampilkan dibagian ini untuk menggaris bawahi bahwa hal kecil sebelumnya akan bisa menjadi sangat fatal.

Sampai di paragraf ini, kita tarik napas dulu.

Memandangi istri yang sedang lelap bisa mendatangkan inspirasi menulis.

Membangun sebuah keluarga, menyatukan dua pikiran itu tidak pernah diajarkan di sekolah, dibangku kuliah pun tidak. Kita masing-masing (suami dan istri) dibesarkan, dibentuk mental dan karakter oleh keluarga kita dengan gaya yang tidak mungkin sama persis. Menjadi guru saja butuh waktu untuk menyelesaikan kuliah 4 tahun dan sekarang dituntut lanjut ke kulia PPG. 

Nah itu pun belum tentu plok langsung jadi guru idaman, teladan murid tanpa salah dan dosa. Apalagi membangun sebuah keluarga yang hanya dibekali Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) yang kadang sedikit membosankan, nasihat orang tetua sedikit dan selamat melanjutkan kehidupan kalian. Apakah itu cukup?

Semoga ke depan Universitas Terbuka membuka jurusan kuliah "Ilmu Keluarga Harapan", atau "Pendidikan Jasmani, Keluarga dan Rekreasi" PJKR. Biar segera kita hubungi Dinas PKO untuk mendaftar kulia UT.

Menulis tentang ini, saya merasa seperti menasehati diri sendiri. Apakah setelah ini bisa menjadi suami teladan dan mendapatkan sertifikat? Semoga dan diamini.

Antonius Ruron bersama istri Maria Renha Rosari. Dokpri
Antonius Ruron bersama istri Maria Renha Rosari. Dokpri

Bagian yang berat sudah. Bagian yang ringan dan santai menjalani tahun pertama sebagai suami istri apa saja enaknya? Yah tentu banyak hal yang indah, secara langsung memberikan energi positif bagi kita dan pasangan. Salah satunya seperti menikmati secangkir teh berdua sembari menonton Spongebob Squarpants di waktu pagi.

Bagian yang indah ini, saya batasi untuk diceritakan demi menghormati teman-teman, sahabat saya para Bujang Senior (BUSER) yang hidup di sekitar kami ini ataupun di belahan dunia lainnya.

Salam..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun