Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Menghormati dan Mempermalukan Orang

18 Agustus 2016   09:11 Diperbarui: 18 Agustus 2016   09:26 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di era baru di jaman politik yang baru, banyak hal-hal yang belakangan menjadi trend. Kalau kita baca di koran dan majalah serta di sosmed, ada menteri yang diberhentikan dengan hormat, ada anggota paskibraka yang digugurkan kemudian dihormati dengan diajak makan siang dengan Presiden, lalu ada lagi warga kehormatan Brimob yang 'ditangkap' oleh Polisi lalu kemudian diakui adalah warga kehormatan mereka.

Pertama, kita harus melihat dari kata hormat. Kata hormat artinya memberikan suatu status yang tinggi dan mulia kepada seseorang atau lembaga, Suatu status yang mengundang kekaguman. Menjadi menteri tentu saja terhormat, menjadi anggota paskibraka juga terhormat apalagi menjadi warga kehormatan Brimob.

Tetapi, kita lihat bagaimana semuanya kemudian dilecehkan, baik oleh pemegang kuasa maupun oleh masyarakat melalui sosmed. Tanpa kita sadari, kita suka mengomentari sesuatu tanpa mau tau keadaan yang sebenarnya. Dan kemudian, apakah kita sadari semua komentar kita itu adalah bully 'virtual'? Apakah kita memang sudah berubah dari bangsa yang menjunjung kesopanan menjadi bangsa yang suka mencaci maki?

Pertama, kita lihat seorang menteri yang katanya adalah orang yang dimintai pendapat (sebelum diangkat menjadi menteri) oleh Presiden tentang pertambangan offshore, seorang yang katanya luar biasa pintar dan berkarier cemerlang, kemudian dipermalukan, dihujat-hujat. Keluarga besarnya yang mulanya sangat berbangga hati, kemudian seakan-akan menjadi keluarga terpidana korupsi.

 Lalu, sang menteri kemudian karena sudah menolak kewarganegaraan asing, dianggap sudah gugur sebagai wni, menjadi orang yang tidak berkewarganegaraan. Kita bisa beralasan itu adalah risiko beliau mau menerima paspor Amerika atau alasan lainnya. Kita juga boleh menambah alasan pembenaran bahwa sang Menteri telah memperpanjang izin Freeport. Tetapi, apakah kita sadar bahwa semua tindakan kita lebih seperti sikap kita kepada maling motor daripada kepada seorang pejabat negara?

Kedua, kita kemudian melihat Gloria seorang gadis berusia 16 tahun, dipermalukan dengan semena-mena digugurkan dari seorang anggota Paskibraka. Dengan alasan Gloria pemegang paspor Perancis. Tidak bisakah kita bersikap sedikit lunak kepada seorang anak kecil? Tidak bisakah kita berkomunikasi dahulu dengan orang tuanya, dengan Gloria, mempelajari segala kemungkinan, baru kemudian mengambil suatu keputusan final? Bukankah kemudian Gloria diijinkan menurunkan bendera? Apakah kita tidak pernah timbang rasa dahulu sebelum memutuskan suatu perkara?

Ketiga, seorang warga kehormatan polisi, dipermalukan oleh polisi. Alasan dari polisi, meski beliau adalah warga kehormatan, tetapi beliau tidak berhak memakai seragam kehormatan dan tanda pangkatnya. Ini adalah suatu alasan yang sangat konyol. Tentu beliau dianggap berjasa besar terhadap institusi POLRI, BRIMOB atau kepada seorang yang sangat dihormati di sejarah POLRI. Saya jadi bertanya-tanya, apakah seorang pensiunan Tentara atau Kepolisian, yang notabene bukan lagi tentara atau polisi aktif, boleh memakai seragam berikuta tanda penghargaan dan tanda pangkatnya?

 Dari ketiga kasus ini, inilah yang paling malu, karena sempat diberitakan sebagai Jendral Gadungan. Waduh, fotonya sudah sampai kemana-mana. Dan tentu saja, AKBP dan Kombes bersangkutan yang menahan beliau pasti bicaranya "tidak hormat". Kalau begini, saya rasa tidak akan ada orang yang mau menjadi warga kehormatan polisi. Karena secarik kertas saja. Dan tidak ada penghormatan sama sekali. Seharusnya, AKBP dan Kombes tersebut harus memberi hormat dengan sikap tegak dan meminta maaf. Dan mohon maaf, setahu saya, tidak ada dasar hukumnya kalau seragam dan tanda kehormatan tidak boleh dipakai, apalagi mengikuti acara HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara.

Kemudian, kita perlu membahas sedikit tentang kata malu. Malu itu bisa juga ketika seorang gadis dipertemukan dengan seorang jejaka pujaan hatinya (di masa dulu, sekarang zaman sudah berubah). Malu juga bisa karena kita ketahuan berbuat hal yang dianggap tabu. Belakangan kita sering memakai kata malu dengan ekspresi: koruptor tidak punya rasa malu. Tetapi, tindakan kita belakangan ini juga suka mempermalukan orang lain.

Nah, menilik dari dua kata tersebut, maka kita patut menghormati yang patut dihormati, yaitu orang tua, guru, pekerja sosial yang tanpa pamrih, atasan kita serta orang-orang yang dianggap berjasa kepada orang banyak, baik yang diberi gelar pahlawan maupun tidak. 

Dan kita harus kembali menimbulkan rasa malu apabila kita melakukan hal-hal yang perlu membuat kita malu, serta menghilangkan kebiasaan mempermalukan orang lain, apalagi di depan orang banyak. Untuk ketiga orang di atas, hanya Gloria yang kemudian dipermuliakan kembali, maka baik untuk Jendral Luhut dan Mantan Mentri ESDM, tabahlah.

Salam malu-malu kucing,

Anto Medan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun