Mohon tunggu...
Antik Safitri
Antik Safitri Mohon Tunggu... -

Karyawati sebuah Badan di luar Kepresidenan, dengan kegemaran berdiskusi dan membicarakan sastra dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang memudahkan langkah menuju peradaban ke depan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta dan Tuhan Itu Satu

12 November 2010   02:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12895545962050308615

Saat aku memutuskan untuk mencintaimu, aku dihadapkan pada ratusan konsekuensi yang harus aku terima, ikhlas atau tidak...

Kata mereka kita terlalu berbeda. Sangat berbeda. Bukan cuma agama, tapi juga adat, kebiasaan, pola pikir, pola hidup, bahkan cara kita menikmati cinta itu sendiri..

Dan dengan sombongnya kita bilang kita bisa. Dengan gaya anak muda zaman 'saat itu' yang idealis, kita bilang kita bisa. Dengan dalih menghargai keberagaman kita, kita bilang ini bukanlah apa-apa. Mungkin belum tepatnya belum apa-apa. Entah apa yang membuatNya menginginkan kita jatuh cinta..

Sampai detik ini aku bersamamu, lukisan diri kita menjadi semakin kontras. Semakin tegas warna perbedaan menciptakan bayang-bayang. Akan selalu ada masa penyesuaian sampai kita benar-benar menghancurkan jurang pembatas yang diciptakan Sang Pencipta. Aku mengikuti pola hidupmu, atau kamu menjadi apa yang aku mau. Aku mengikuti adat nenek moyangmu, atau pola pikirmu keracunan pola pikirku. Kita selalu mencoba menyesuaikan masing-masing dengan bayangan cermin dalam kepala kita. Bukankah cermin yang harus menyesuaikan bentuknya agar mirip seperti kita apa adanya?  Entahlah, penyesuaian ini tak akan ada akhirnya. Sesungguhnya inti dari hubungan ini bukanlah menghancurkan perbedaan, tapi menerima kenyataan bahwa kita memang begini adanya. Sampai kapanpun, sayang.. sanggupkah kamu?

Ketika aku akan memulai penyesuaian yang paling membutuhkan ruang privasi sekaligus empati, sempat terpikir dalam benakku, tepatkah menempatkan kamu sebagai yang terakhir? Menempatkan dirimu menjadi imam bagiku sebagai mualaf kelak? Itupun belum menyelesaikan sebagian masalah. Kita belum selesai membangun jembatan untuk melewati jurang yang lain, jurang adat, jurang sosial, keluarga, pola hidup, dan jurang-jurang lainnya. Walaupun selama ini aku bilang aku baik-baik saja, but there's a little pain behind "I'm okay", and there's a little "I need u" behind "leave me alone"..

Untuk satu konsekuensi yang membuatku kehilangan beberapa sahabat, seharusnya kamu tidak pergi dan membiarkanku mencariNya seorang diri. Bukan cuma untuk kali pertama, tapi untuk seterusnya, aku ingin berjalan seiring. Bukan digiring.

Sanggupkah kamu menjadi seperti itu, sayang?

Mungkin kita akan meninggalkan kebiasaan kita masing-masing. Kebiasaan duduk bersama, yang dalam tiap shalatmu ada namaku, begitu juga aku yang dalam tiap Tri Sandhya tak lupa menyebutkan namamu. Ya, kamu sebagai salah satu dari orang-orang terkasih yang kuselimuti selalu dengan doa agar senantiasa diberi keselamatan pikiran, perkataan, dan perbuatanmu.

Tuhan, kata orang bijak Kau cuma ada satu. Karena perbedaan kami menyebut dan bersembahyang kepadaMu, sampai hatikah bila doa-doaku tak Kau sampaikan padanya?

Aku menunggu, Tuhan..


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun