IZINKAN saya menulis lagi tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tentu dari sudut pandang saya sendiri. Pengalaman menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN, sedikit banyak membuat saya lebih mengenal Presiden SBY dari dekat.
Meskipun 2,5 tahun mendampingi Presiden tidak berarti saya mengenal seutuhnya pribadi beliau. Tetapi semestinya cukup fair untuk mengatakan: saya tentu mempunyai sedikit pengalaman lebih dibandingkan dengan orang lain, karena interaksi langsung dengan Presiden SBY.
Menulis tentang Presiden SBY bukanlah langkah yang populer. Saat ini menyampaikan pandangan tentang Presiden, apalagi dari sisi yang positif, akan terdengar aneh. Karena arus besarnya adalah mengkritisi pribadi dan kebijakan Presiden.
Bukan berarti kritik kepada Presiden menjadi tabu apalagi dilarang. Karena dalam iklim demokratis, kritik kepada penguasa adalah bumbu wajib. Justru akan terasa aneh bin ajaib, jika penguasa tidak mendapatkan kritik. Karena itu, salah satu syarat menjadi pemimpin dalam era demokratis, adalah lapang dada dan siap untuk dikritik.
Ketika seorang pemimpin sudah antikritik, maka itu adalah salah satu tanda utama hadirnya sifat antidemokrasi, dan jalan menuju kepemimpinan diktator. Itulah sebabnya, dalam beberapa kesempatan, Presiden SBY mengatakan, “Kita sudah berketetapan hati untuk memilih dan memperjuangkan demokrasi. Maka, konsekuensi dari pilihan itu harus kita hadapi. Salah satunya adalah sabar dan tahan menghadapi kritikan. Saya telah memimpin negara ini lebih dari 6 tahun, dan terus menghadapi kritikan --bahkan terkadang fitnah-- namun saya harus tetap sabar dan tidak emosional.”
Meskipun tidak antikritik, bukan berarti setiap sikap kritis yang disampaikan pasti benar adanya. Saya berpendapat, untuk hal-hal yang tidak benar, tetap harus ada klarifikasi dan penjelasan. Untuk itulah saya menyediakan diri untuk memaparkan fakta sebenarnya.