Oleh. Purwalodra.
Hidup di era serba canggih sekarang ini, banyak orang mengira bahwa masa depan kita sebagai individu, bisa kita prediksi seakurat mungkin. Kita juga mengira, bahwa ilmu perencanaan yang kita miliki mampu menentukan hasil, bahkan apapun yang kita hekendaki akan sesuai rencana. Kita tidak menyadari, bahwa kita hidup dalam paradoks ketidakpastian. Paradok tersebut menyatakan, “ketika kita menganggap sesuatu itu pasti terjadi, maka pada saat bersamaan apa yang kita sebut sebagai kepastian itu ternyata adalah ketidakpastian !”
Sekarang ini, makin banyak orang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah favorit dengan biaya selangit. Banyak orang pinjam duit bank dengan bunga juga selangit untuk membangun bisnis apalah-apalah gitu ?!. Banyak orang pengen berkuasa selamanya ?! Banyak orang korupsi tanpa takut resiko ketangkep tangan KPK ?! Banyak orang berbuat dzalim tanpa takut akibat yang ditimbulkannya ! Semua perilaku ini ganjil ini, menurut saya, mengindikasikan bahwa makin banyak orang mengira masa depannya, bisa mereka genggam dengan pasti ?!.
Namun, anggapan saya itu tidaklah tepat. Mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah mahal, karena mereka takut anak-anaknya bodoh dan miskin. Mereka ingin berkuasa selamanya, karena ingin terus memanfaatkan fasilitas dan takut tidak bisa memperkaya diri sendiri. Mereka tak mau tergantikan dalam struktur organisasi, bahkan mereka berbuat dzalim pada bawahannya, justru karena mereka dihantui perasaan khawatir akan masa depan kepopulerannya. Dengan demikian, mereka itu ternyata orang-orang yang memiliki kecemasan tingkat dewa, atas masa depannya. Karena bagi mereka, ketidakpastian masa depan merupakan hantu yang menakutkan dalam hidupnya. Bahkan, banyak wanita cantik yang sibuk memilih laki-laki kaya yang bisa menjadikannya istri satu-satunya, sehingga mereka terus menderita, dan tak pernah merasakan kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya.
Di hadapan tantangan ketidakpastian inilah, mereka membuang nilai-nilai yang hidup, yang membuat mereka berharga pada awalnya. Namun, akhirnya mereka menjadi pengecut-pengecut yang takut pada dinamika kehidupan yang selalu berubah. Karena, gerak kehidupan ini, justru akan melenyapkan mereka, karena lupa akan identitas asali dirinya sebagai manusia.
Di dalam hidup ini, kita sering mengalami berbagai peristiwa besar maupun kecil, entah itu suatu kegagalan, atau keberhasilan yang menyenangkan hati. Hidup kita seolah dihempas ke berbagai kutub ekstrem kehidupan, yang tak mudah dan bahkan tak bisa kita kuasai. Ketika kita jemu, krisis, ataupun ceria di dalam keberhasilan, kita seringkali lupa tentang nilai-nilai dasar hidup yang sejati. Akibatnya kebingungan pun tercipta, dan merusak ketenangan kita sendiri. Kita lupa dengan tujuan hidup yang sejati, dan kita sibuk pada hal-hal yang tidak sejati. Pada akhirnya kita merasa hampa, kering makna dan tak bahagia.
Oleh karena itu, agar kita mampu mengalir dengan kejadian-kejadian dalam hidup kita, maka ada dua hal yang tetap harus dijaga, yakni kesetiaan pada nilai-nilai dasar kehidupan, dan kemampuan kita untuk bertahan menghadapi dinamika hidup yang selelau berubah. Nilai-nilai dasar kehidupan, yang membuat kita awalnya menjadi manusia, dan bukan binatang ataupun tumbuhan. Adapun nilai-nilai itu adalah penghormatan kepada martabat kemanusiaan, keteguhan hati di tengah badai kehidupan, keberanian menyatakan apa yang benar, dan keberanian untuk bertindak apa yang disebut sebagai ‘baik’, dan lepas dari apapun yang mengancam. Tanpa nilai-nilai hidup itu, kita tidak bisa disebut sebagai manusia yang utuh.
Apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, manusia tidak boleh menjadi alat bagi tujuan apapun, apalagi sebagai faktor produksi, seperti halnya dalam ilmu ekonomi. Manusia bukan barang atau alat pemuas yang bisa dimanfaatkan untuk apapun. Ketika kita memperlakukan orang lain sebagai barang, alat pemuas, atau bahkan faktor produksi, maka pada saat yang sama, hidup kita tak memiliki makna apa-apa ?! Inilah nilai pertama yang selalu harus kita pegang.
Di mayarakat kita, manusia seringkali dimanfaatkan. Manusia seringkali menjadi alat bagi tujuan-tujuan tertentu di luar dirinya, entah sebagai alat pencari uang, atau peraih kekuasaan. Seperti hewan ataupun tumbuhan, manusia diperas demi kepentingan manusia lain, yang merasa lebih punya kekuatan. Tentu saja, ini tidak boleh dibiarkan !
Kemudian, di sisi lain keyakinan dan keteguhan hati juga amat diperlukan, supaya kita bisa mencapai tujuan hidup yang kita inginkan. Keteguhan hati tergambar di dalam kesetiaan pada prinsip dan profesi, lepas dari apapun yang ada di depan mata. Keteguhan hati adalah integritas manusia yang membuat kita terus utuh dan berharga di dalam hidup dan kehidupan ini.
Namun, kita seringkali tak punya keteguhan hati yang kuat. Yang kita miliki sekarang, tak lebih hanya pertimbangan jangka pendek, yang akan menghancurkan keteguhan hati itu sendiri. Ketika kesempatan datang, maka kita merupakan pemburu kesempatan di tengah kesempitan hidup. Kita tak pernah beranjak menjadi bijaksana. Ini juga tidak bisa dibiarkan terus ada !