Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagal Memahami Atawa Gagal Paham ?!!

9 Desember 2014   05:31 Diperbarui: 17 Oktober 2017   14:53 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Setiap saat aku selalu berfikir, mungkin aku terlahir cacat, sehingga sering aku tak mampu menerjemahkan bahasa semesta yang selalu berbisik halus pada diriku. Bahasa yang begitu jelas dan halus itu kadang-kadang terdengar, namun aku tak pernah tahu apa makna yang dimaksud dalam bahasa itu. Seperti halnya bahasa perempuan yang sering tak pernah bunyi dalam membahasakan kehendaknya. Aku sering menemukan kata-katanya menetes bersama air-mata, atau kalimat-kalimatnya yang menepel pada rasa senang yang berlebihan, seringnya sih ! bahasanya selalu menempel di bibirnya yang selalu cemberut.

Ketidakmampuanku menangkap setiap kalimat yang ada dalam senyummu pun, aku akan telihat gagap menafsirkannya, apalagi membahasakan bibirmu yang selalu masam pada siapapun. Ketidakmengertianku biasanya muncul dalam sikap-sikap apatisku dan kemarahanku pada diri sendiri yang selalu gagal untuk mengerti. Bahkan, oleh perasaaku sendiri yang sering berteriak memberitahuku bahwa tak semestinya aku mencintai orang tak pernah tahu perasaanku.

Kondisi diatas diperparah lagi dengan kebutaanku melihat gejala-gejala yang ada di sekitarku. Aku tak pernah tahu kecenderungan-kecenderungan seseorang melakukan sesuatu, apalagi motif-motif yang mendasari seseorang ramah atau sinis kepadaku. Mungkin aku perlu kaca-benggala untuk bisa melihat mana yang baik atau mana yang tidak. Mana yang menipu atau menolongku. Atau, mungkin semua ini adalah rahmat yang seharusnya kusyukuri, dengan begitu aku hidup dengan alamiah tanpa belenggu dan tirani konsep dalam kehidupanku.

Sebenarnya yang kusadari bahwa pengalamanku sebagai manusia merupakan sesuatu yang amat kaya. Ketika aku melihat sebuah gunung, berbagai unsur dalam diriku bekerja, dan menghasilkan pengalaman yang amat kaya atas gunung tersebut. Gunung tidak kulihat semata sebagai tumpukan tanah dan bebatuan, tetapi juga sebagai inspirasi yang membuatku merasa kagum, tenang, dan damai.

Ketika aku mampu melihat apapun dari semua indera yang kumiliki, sudah semestinya aku mampu menafsirkannya dari pertanyaan-pertanyaan yang kutujukan pada diriku sendiri, mengapa aku diperlihatkan ini-itu ?. Isyarat atau petunjuk apa yang tersembunyi dari apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan ?. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu akan memberi jawaban yang sangat berarti untuk bisa kutemukan hikmah dan penjelasan-penjelasan lainnya yang bersifat ilmiah.

Bahkan, ketika aku mengalami sesuatu, ada tiga unsur yang secara otomatis dan simultan bekerja dalam diriku, yakni pikiran, perasaan, dan merangsang tanggapan atas sesuatu itu dalam bentuk perilaku. Kekayaan dan kerumitan realitas yang kutangkap langsung dari panca indera, akal budi, dan rasa akan selalu ada dalam diriku. Dari proses campuran ketiga unsur inilah, aku menanggapi realitas yang ada.

Namun, aku sering menangkap sebuah realitas dalam hidup ini hanya sepotong-sepotong saja, yakni realitas rasional yang sebenarnya hanyalah bagian kecil dari kekayaan dan kerumitan dunia itu sendiri. Yang hilang dariku, saat ini, sebenarnya bukanlah kecerdasan, melainkan kemampuanku untuk merasa dan menafsirkannya. Ketika aku tidak mampu menafsirkan sebuah realitas dan kehilangan 'rasa' dari kehidupan ini, yang kualami adalah kekejaman, kekumuhan, dan kedangkalan hidup. Oleh karena itu, hidupku tidak akan pernah utuh dan bermakna, jika aku tidak mengasah ketajaman dalam memaknai apapun yang terjadi di sekitarku, dan kemampuan mengelola 'rasa' untuk memahami kekayaan realitas dalam menghargai keindahan hidup bersama orang lain.

Kondisi inilah yang membuatku selalu gagal untuk mengerti apapun yang terjadi, untuk bisa mengerti apapun yang kualami. Tentu saja, akhirnya akupun gagal mengerti apapun yang kau kehendaki !!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 08 Desember 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun