Suara dari masa lalu itu menarik kedua tanganku untuk berhenti, berlutut, bersujud dan meminta.
Tapi meminta apa ?
Meminta untuk kembali ke masa lalu tidaklah mungkin.
Mencintaimu saja itu cukup. Lalu apa?
Bukankah hati kita hangat saat kita bertemu dan tertawa?
Saat mata berpandangan dan kata-kata terucap mesra.
Tapi bukankah jurang pemisah antara kita sudah sangat lebar, mau dengan apa kita menyeberanginya.
Benar kata pepatah, semut diujung lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.
Dirimu seperti semut yang ada di ujung lautan namun selalu hadir di selebar pupil mata.
Ingatan masa lalu sudah dihapuskan, namun suara tetap saja mengganggu di jiwa.Â
Ya ya ya, begitulah hidup. Ada saja cobaan dan godaannya.
Tapi tidakkah kita sadar,
di depan mata kita seperti gajah yang itu ada pekerjaan yang harus dikerjakan,
ada langkah yang harus dijalani dan ada hidup yang harus disyukuri.
Bukankah sebaiknya kita lupakan masa lalu.
Yah, suaramu menggangguku. Pandangan mataku menggangguku.
Kita harus mulai saling menutup mata dan kosakata.
Melupakan apa yang dibelakang kita dan berjuang segiat-giatnya untuk apa yang ada di depan kita.
Kita ini pelari, maka berlarilah.
Kita ini petinju, maka bertinjulah.
Kita ini orang-orang yang saling jatuh cinta, maka cintailah sesama kita.
Buat apa lagi merobek hati dan mengalirkan airmata demi cinta yang fana.
Kuatkan hati, tekad dan pikiran untuk membangun negeri.
Karena cinta kita buat mereka.
Langit jingga, merahputih-bandung.