Mohon tunggu...
Novendra Ade
Novendra Ade Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Analisis Film Dokumenter "Belakang Hotel"

2 Oktober 2017   05:11 Diperbarui: 2 Oktober 2017   05:19 6064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film merupakan sebuah media komunikasi yang masih diminati oleh kebanyakan orang. Film dapat memuat unsur visual maupun audio secara kompleks. Maka tidak jarang film menjadi sebuah sarana dari penyampaian kritik baik sosial, ekonomi, budaya dan juga isu lingkungan. Salah satu film dokumenter yang memuat unsur kritik yang sangat kental adalah film dokumenter dari Watchdoc yang berjudul Belakang Hotel.

Belakang Hotel merupakan sebuah film yang diproduksi oleh para jurnalis video dengan bekerja sama dengan Komunitas Warga Berdaya Yogyakarta. Film ini mengangkat tentang isu Jogja Asat yang sangat gencar pada tahun 2014 lalu. Sebuah isu dari masyarakat Yogyakarta sendiri terkait dengan asatnya (keringnya) sumur warga yang terjadi pada beberapa bulan di tahun tersebut. Beberapa wilayah Yogyakarta seperti Gowongan, Miliran, dan Godean diambil untuk kemudian dibuat untuk sudut pandang film tersebut.

Tambah menarik ketika terdapat beberapa warga langsung yang menyampaikan fakta kesehariannya dengan logat bahasa Jawanya terkait dengan keringnya sumur-sumur di daerah tersebut. Dalam film juga terdapat cuplikan dari komunitas ketika menyuarakan aspirasi mereka dengan mandi pasir tepat di depan salah satu hotel yang marak dibicarakan dalam film tersebut yaitu Hotel Fave. Pasir sebagai simbol kekeringan dan keterpaksaan dari warga terkait dengan susahnya mendapatkan air di "ladangnya" sendiri.

Disebutkan paparan tentang data penggunaan debit air yang digunakan oleh hotel dan para warga. Di awal film tercantum tentang penggunaan air perharinya dalam hotel mencapai 380 liter per kamar. Kemudian terdapat perbandingan dengan pemakaian air rata-rata oleh satu keluarga di Yogyakarta yang hanya 300 liter air per hari.

Kemudian sangat kental film tersebut memvisualisasikan para warga yang terlihat tetap santai (dengan gaya yang tetap tersenyum dan tanpa emosi) menganggapi keringnya sumur yang memang baru pertama mereka rasakan setelah satu hingga dua tahun hotel dibangun. Ketika musim kemarau dipaparkan oleh beberapa warga bahwa tidak pernah wilayahnya sampai kering sedemikan rupa. Maka kemudian muncullah sebuah protes akan pembangunan hotel yang seakan-akan tidak memperhatikan warga sekitar dalam keseharian dan kesejahteraannya.

Letak konflik

Pertentangan yang diperlihatkan dalam film adalah antara warga Yogyakarta dan pihak hotel dan para investor. Para warga yang dipelopori oleh komunitas Warga Berdaya Yogyakarta sangat menyayangkan terjadinya pembangunan yang justru merugikan warga asli sekitar Yogyakarta. Salah satunya adalah kekeringan yang melanda sumur-sumur sekitar hotel. Air untuk para warga adalah sebuah hal yang sangat membantu menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika secara tiba-tiba sumur yang telah menghidupi mereka berpuluh-puluh tahun mengalami kekeringan, maka di situ terjadi kekhawatiran yang cukup besar dampaknya terhadap warga. Kekeringan yang terjadi berada dalam waktu yang tidak jauh rentangnya dengan pembangunan hotel maupun apartemen di Yogyakarta. 

Dapat dikatakan sebenarnya sebuah perkembangan pesat dari pariwisata dan budaya di Yogyakarta dengan melihat banyaknya wisatawan yang masuk ke Yogyakarta. Terjadinya pembangunan pun menjadi tolok ukur akan perkembangan yang terjadi di Yogyakarta. Namun, perkembangan dari segi pariwisata tersebut juga perlu diimbangi dengan perkembangan kesejahteraan dari warga nya pula. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik terhadap pembangunan terutama hotel yang ada di Yogyakarta.

Sebuah efek yaitu kekeringan menjadi hal yang tidak dapat ditolerir kembali. Sebuah prediksi dari Eko Teguh Paripurno, Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, mengatakan bahwa ketika pengelolaan akan pembangunan hotel maupun apartermen jika tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan hingga 15-50 cm per tahun. Dalam lima tahun ke depan ketika situasi tetap begitu maka dapat menurunkan air tanah hingga 2,5 meter. Kondisi yang parah yang dapat dirasakan warga Yogyakarta.

Ketika melihat data terakhir terkait pembangunan di Yogyakarta, tahun 2013, telah ada 106 hotel yang dapat berpotensi untuk dibangun di Yogyakarta. Hingga Juni 2014, terdapat 1.050 hotel non-bintang dengan 20.000 kamar dan 65 hotel bintang dengan 7.000 kamar (dikutip dari tribunnews.com). Selain hotel, terdapat pembangunan mall hingga Desember 2014 terdapat enam pusat belanja yang sudah beroperasi. Kemudian ditambah sejumlah enam pusat belanja baru yang bakal beroperasi tahun 2015 sampai 2018 mendatang (dikutip dari kompas.com).

Melihat hal tersebut memang dapat diakui Yogyakarta telah menjadi salah satu kota "idaman" bagi warga luar yang masuk. Destinasi wisata Yogyakarta dirasa sangat menarik dan banyak ragamnya dari alam, kebudayaan, maupun desa wisatanya. Kemudian julukan bagi Yogyakarta tentang Kota Pendidikan sepertinya menjadi penarik bagi mahasiswa maupun pelajar yang datang untuk menuntut ilmu di kota Yogyakarta. Banyaknya warga yang masuk ke Yogyakarta menjadi sebuah pacuan juga bagi Yogyakarta dalam memperlihatkan eksistensinya di nasional atau bahkan ke ranah internasional. Sebuah kenyataan yang membanggakan untuk perkembangan Yogyakarta. Namun ketika melihat kembali pada dampak pembangunan, maka perlu adanya regulasi khusus yang perlu dibuat untuk menanggapi perkembangan Yogyakarta tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun