Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buzer Perlu, tapi Meruntuhkan Kepercayaan

14 Februari 2021   12:22 Diperbarui: 14 Februari 2021   12:27 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Voxpop.id

Apabila salah mengelola managemen buzer maka kehadiran prajurit siber  atau Cyber Troops bagi partai, negara, lembaga dan kekuasaan, efeknya akan  meruntuhkan kepercayaan publik kepada media, aktivis, jurnalis, akademisi (kampus) , tokoh DPR yang vokal.  Maka yang akan terjadi adalah tatanan demokrasi pada sebuah negara akan amblas.  Buzzer menciptakan keterpurukan  bagi tatanan demokrasi apabila tidak dalam pengelolaan  secara baik, profesional sesuai standar dan etiket Kebebasan Berpendapat.

Semula kehadiran  buzer bagi dunia media sosial sangat bermanfaat atau positif bagi mereka yang bergelut dalam dunia buzer. Terutama yang cenderung berselancar dalam dunia twiter, instagram dan facebook. 

Beberapa produk dan perusahaan memanfaatkan jasa buzzer untuk memasarkan produk mereka sehingga lebih mudah dan lebih cepat diterima oleh masyarakat. Pergeseran nilai buzer terjadi kala kepentingan politik memanfaatkan jasa buzer.  Makna buzer  menjadi negative karena terlibatan melalui  peristiwa politik. Di sinilah pokok persoalannya sehingga kehadiran buzer pada lingkaran demokrasi di Indonesia menuai sorotan.

Bagi Indonesia menghadirkan jasa buzzer untuk kepentingan politiknya melalui media sosial telah hadir sejak tahun 2012, melalui Pilkada DKI.  Seorang pakar politik dan media dari Universitas Nasional Australia, Ross Tapsel mengatakan bagi negara negara di Asia Tenggara hal biasa dalam mempekerjakan ahli strategi kampanye melalui online atau media sosial. Lalu mengumpulkan pasukan siber untuk menyebarkan konten konten di media sosial.  

Pasukan siber atau buzer memang dahsyat, Studi Oxford Institut menyimpulkan bahwa pasukan siber tersebut merupakan aktor utama di berbagai organisasi baik pemerintahan maupun swasta, individu.  Bala tentara dunia maya tersebut menggunakan media sosial, online untuk membentuk opini, mengarahkan agenda politik atau menyebarkan ide. Pasukan pasukan ini sangat piawai menggunakan media sosial dalam memengaruhi publik melalui kampanye dan propaganda nya.  

Masih dari Oxpord, riset yang ia lakukan pada 2019 di sejumlah negara  "The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manupaltif". Oxford menemukan terdapat 70 negara pada tahun 2019 yang menggunakan jasa pasukan siber untuk melakukan kampanye manipulasi. 

Kampanye manipulatif tersebut ter komputasi melalui algoritma, otomatisasi dan data. Setiap tahun, jumlah negara menggunakan jasa pasukan siber terus mengalami peningkatan sejak tahun 2017 hingga 2019.  Khusus di Indonesia kata studi Oxpord pasukan siber banyak digunakan oleh para politisi, partai politik dan perusahaan swasta.  Selain itu pasukan siber di Indonesia juga dimanfaatkan untuk propaganda pro pemerintah atau partai politik, memecah belah khalayak melalui cara menciptakan disinformasi atau konten manipulasi. 

Beragam ancaman yang merusak tatanan demokrasi di Indonesia kala buzzer buzzer tersebut terjun ke media sosial melalui kampanye negatifnya melawan aksi aksi kritis dari masyarakat. Padahal dalam tatanan demokrasi kehadiran masyarakat yang kritis melalui diskusi publik, diskusi kampus, wawancara pers serta media dan talk show merupakan hal yang positif dalam bernegara. Perlu memberikan kritik kepada kekuasaan agar pengambil kekuasaan dapat menjalan tugas, amanah rakyat sebagai mana mestinya.

 
Walaupun kehadiran pasukan siber tengah ter sorot di Indonesia namun penelitian Oxpord pada tahun 2019, bukan hanya Indonesia yang menggunakan jasa pasukan siber untuk kepentingan  politik dan kekuasaan, termasuk partai politik.  "Di seluruh dunia aktor aktor pemerintah menggunakan jasa media sosial untuk membikin konsensus, mengotomatisasi tekanan, dan menghancurkan kepercayaan dalam aturan internasional liberal" tulisan penelitian Oxford Internet Institut. 

Dalam penelitian terhadap 70 negara termasuk Indonesia, Oxford menyebut soal teknis manipulasi data yang diterapkan ke 70 negara tersebut. 87 persen menggunakan akun manusia, 80 persen negara menggunakan bot, 11 persen negara menggunakan akun otomatis, 7 persen negara menggunakan akun curian.  Selain itu, pasukan pasukan siber tersebut juga sangat kuat dalam melalukan propaganda pro pemerintah yakni mencapai 71 persen, 89 persen dilakukan untuk menyerang oposisi politik serta 34 persen memecah belah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun