Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa "Pray For Jakarta" Tak Membumi?

3 Januari 2020   14:22 Diperbarui: 3 Januari 2020   14:37 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : BeritaSatu.com

Ada yang berbeda tiga hari terakhir saat banjir menerjang Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta. Dan sekitarnya, Tangerang, Bogor dan Bekasi. Perbedaan itu terlihat saat membandinghkan dengan bencana yang melanda sejumlah daerah di Indonesia, banjir, gempa bumi, Tsunami dan sejenisnya.  

Kita bisa menyaksikan ketika banjir dan tsunami terjadi di daerah lain, ucapan belasungkawa, solidaritas, meme bertuliskan pray for......bertebaran melalui sosial media. Seluruh Indonesia ikut mendoakan dan menyatakan solider pada pada korban bencana tersebut. Aksi bentuk kemanusiaan melalui beragam cara dilakukan oleh penduduk Indonesia. 

Kelompok masyarakat, remaja masjid, Ojol, perusahaan swasta ikut menciptakan solidaritas. Masjid masjid menggelar sholat lalu doa bersama.  Banjir DKI, mengapa yang menonjol adalah sikap nyinyir, pandangan berbeda serta silang debat siapa yang patut disalahkan? Ada apa dengan DKI?  

Ketika bencana Tsunami di Palu merobek robek bumi, seluruh penduduk tanah air melalui komando kemanusiaan, menuliskannya pada halaman sosial media.    

Ada yang meratapi, menangis, seolah pada saat itu Indonesia gelap, oleh karena diserang oleh bencana yang tak terduga itu.  Seantero berkumandang, kaya, miskin, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, partai, rumah tangga, artis, non artis, ikut solider atas nama kemanusiaan.  Sebelum Palu, bencana serupa terjadi di NTB. Sambal halnya dengan Palu, solidaritas atas nama Indonesia menyatu.  

Di Konawe, Banjir Bandang di Sulawesi Selatan, bencana di Sumatra, pulau Jawa dan sejumlah daerah lainnya, tak ada pemandangan seperti yang kita saksikan atas bencana di Jakarta.  Yang terlihat, adalah saling menuntun, saling bergenggam tangan, ikut merasakan kepedihan atas bencana alam tersebut.

Solidaritas bencana atas nama kemanusiaan mulai terlihat pada tahun 2004 silam, ketika bencana Tsunami melanda Aceh dan sekitarnya.  Indonesia diam, termangu, ada yang menutup mulut pertanda tak mengira, merinding bulu kuduk menyaksikan neraka kecil di dunia itu.

Air meronta, melejit bagaikan jet, menghapus semua jejak jejak dunia di bumi Aceh dan sekitar nya lalu meninggalkan reruntuhan dan mayat mayat berserakan. 

Atas nama kemanusiaan rakyat Indonesia, jelas sangat terlihat. Kita jangan berbicara kemanusiaan internasional, mereka sudah sangat peduli dan tak perlu diragukan lagi.

Yang terbaru ada awal 2020, tepatnya 1 Januari 2020.  Saya yang tinggal nun jauh dari Jakarta, membutuhkan 120 menit tiba di Jakarta menggunakan pesawat terbang, atau 2 hari dua malam menggunakan kapal laut, mengapa pemandangan itu sangat jauh berbeda?

Presiden Jokowi menganalisa, salah satu penyebab banjir adalah sampah, Menteri PUPR Basuki sempat menyentil Gubernur Aries soal normalisasi Sungai Ciliwung yang belum rampung lalu kemudian Gubernur Aries terkesan enggan menerima analisa tersebut, ia lalu membantahnya melalui satire. Bahwa sejumlah titik yang banjir di Jakarta termasuk Halik Perdanakusumah, tak ada sampah kok?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun