Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mimpi Orang-orang Biasa

30 Desember 2019   15:05 Diperbarui: 30 Desember 2019   15:07 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, sumber foto : hipwee.com

Desaku di Labitar baru saja diguyur hujan, derasnya minta ampun. Pohon kelapa  menjulang tinggi tepat di samping rumahku rubuh oleh kutukan petir pada tengah malam.  Tak satupun warga di desaku mengetahui pukul berapa pohon kelapa yang berusia melebihi usiaku itu tumbang mengenai pohon coklat tetanggaku.  Pagi hari telah kulihat serombongan manusia bersarung duduk mengamati pohon kelapa yang terbelah itu.  Saya baru saja bangun, melihat serumpun warga desaku berkumpul. Hilir berganti berbahasa, Menganalisa penyebab jatuhnya pohon kelapa.

Petir pada tengah malam, cerita usang berkata akan membawa berkah bagi warga.Saleng, berbaju kaos lusuh dari arah jauh kulihat berlari. Ngos ngosan dia, tiba di kerumunan manusia bersarung mengitari pohon kelapa ku yang tumbang. Orang tuaku, terlihat memotong beberapa bagian pohon kelapa itu. Mengirai ada sejenis logam terpantul masuk ke dalam tubuh pohon kelapa yang malang.  Saleng menemui ku,  "Kudengar cerita, jika ada pohon yang tumbang tengah malam, kena petir maka itu pertanda Tuhan mengirim emas. Coba lihat orang orang itu, membantu ayahmu memotong pohon kelapa. Pasti mereka mencari emas"  kata Saleng, bersungut sungut bercerita tiada henti.

Ayahku bersama tiga sebayanya, bersarung tak bersandal  memilah milah pohon kelapa malang itu, Saleng mengajaku ke sebuah bukit sekiranya 30 menit perjalanan kami tiba di sana. "Ayo kita ke sana.  Rahim, Pudding,  Sahabud dan Hasan sudah lebih dulu ke sana" kata Saleng. Rupanya Saleng ke rumahku bukan ingin mengetahui penyebab tumbangnya pohon kelapa yang telah melewati ketinggian rumah ku. Ia diutus oleh Pudding menjemputku. Diantara berlima se geng, Saleng selalu mendapat tugas mengajak lalu menjamput kami.  Ia sangat bebal, seolah memiliki dua wajah sebab wajah sebelah kiri dan kanan nampak berbeda. Seperti sedang tertempel daging sapi. Beruntunglah hidungnya sedikit melaju ke depan, serta matanya yang membolak sehingga mengurangi kekurangan ajaib wajahnya  yang tertempel itu.

Saleng tak pernah kehabisan akal jika mengajak atau pun disuruh oleh kawan kawan ku untuk mencari sesuatu. Pernah suatu kala kami hendak ke pasar kecamatan tetapi tak memiliki sepersen pun uang.  Saleng bersungut dan menyanggupi untuk membawa uang keesokan harinya.  Sepekan setelah dari pasar, saleng tak pernah muncul lagi.  Rupanya, ia sedang mendapat hukuman berat dari kedua orang tuanya, sebab uang yang kami belanjai di pasar adalah hasil penjualan beras 20 liter oleh Saleng kepada pedagang beras di kampung Labitar,  Salmah  nama pedagang itu.  Salmah yang cerewet seperti  burung beo itu mengadukan Saleng kepada kedua orang tuanya.  Salmah merasa ketakutan setelah ia menonton sinetron tanah menolak mayit rentenir yang membeli beras milik sekampung. Masih pagi buta, saat Saleng sedang berkemas ke sekolah, Salmah bertamu. Firasat Saleng mulai tak keruan saat melihat Salmah, memakai daster berbalut sarung itu meniti tangga satu demi satu. Kaki Saleng terasa tak berpijak pada bumi.

Bukit yang kami tuju telah terlihat oleh ku. Nampak Pudding, Rahim dan Sahabud telah duduk pada rumah panggung berdiameter kecil, beratap rumbia. Tangganya terbuat dari pohon kayu, sekali lompat tubuh terhempas.  Setiap akhir pekan kami memilih tempat ini, tamasyanya orang orang kampung. Rumah kayu ini bekas milik tukang jaga kebun orang tuaku, Dahang begitu ia dipanggilkan nya.  

Ayahnya Saleng seorang petani suruhan. Tak memiliki sawah, maka ia setiap saat bekerja membantu mereka yang memiliki ladang sawah ber hektar hektar.  Merawat sawah tersebut hingga panen tiba.  Entah mimpi apa, Saleng tiba tiba memiliki impian menjadi staff presiden di ibu kota. "Kalau bukan sekarang, kelak saya akan terpilih", cerita Saleng pada kawan kawannya. "Berkumur lah Saleng, bersihkan mulutmu itu. Jangan sekali kali kau ucapkan mimpi mu itu" tegur Pudding, yang nyaris jatuh dari rumah kayu itu saat mendengar Saleng menceritakan impiannya.  

"Boleh lah kau bercita cita Saleng, silahkan. Tak ada yang melarang. Tetapi mimpi mu itu setan pun akan tertawa" oceh  Rahim, yang tak henti hentinya tertawa mendengar impian si Saleng. Dalam proses ketawa pingkalnya itu, Rahim mengolok Saleng akan impiannya bahwa malaikat pun tak bersedia mengantar Saleng menuju cita cita yang ia impikan.  Diantara kami se geng, hanya aku yang terkesan memberi semangat pada  Saleng untuk melanjutkan niatnya. "Hanya yang saya khawatirkan Saleng, kau tak dapat melanjutkan bacaan AL Quran mu jika di Jakarta kelak.  Ku tahu di sana tak ada lagi surau, tak ada lagi kolong rumah untuk belajar Ngaji. Ustads pun tak punya waktu lagi ngajak ngaji. Berlomba lombalah mereka ceramah lalu di videokan" kataku.

Selidik punya tanya, impian saleng sebagai staff presiden setelah ia bermimpi pada malam di mana pohon kelapaku tumbang. Pantas lah jika Saleng tak menaruh perhatian penuh pada pohon kelapa yang tumbang. Jika Saleng bermimpi berdampingan presiden, Rahim memiliki cerita lain. Ia yang memiliki latar belakang pembual kelas wahid hendak mendirikan Warkop yang ia akan namai Warkop "jangan ada dusta diantara kita".  Rahim yakin, Warkopnya  akan ramai didatangi para pengunjung terutama menjelang pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat  atau Pilpres. "Maka di Warkop ku lah kelak kau deklarasikan diri Saleng,  calon staff presiden dari Desa Labitar" seru Rahim pada Saleng.  Sambil berangan angan, Rahim mengaku telah memiliki menu untuk Warkop nya. Jenis kopi tanpa gula ia nama Kopi Caleg. kopi susu ia nama kopi Cabup, kopi hitam sedikit manis ia namai kopi Capres.  

Sahabud punya cerita lain. Jika kelak se gengnya telah sukses, ia bercerita akan menetap menjaga kampung halaman yang tercinta ini, Desa Labitar. "Takut jika orang kota ke Labitar. Habis lahan lahan kita di sini. Mereka kuasai, lalu kita hanya menjadi penonton. Keringat kita diperas, diupah oleh mereka. Tak ubahnya penjajah asing saat menjajah Indonesia sebelum merdeka, bukan begitu Lodang?", tanya Sahabud, padaku sambil menatap jauh lahan Desa Labitar, penuhi pepohonan, persawahan nan asri.

******
Deru hujan deras menghujum kampung Labitar pada malam hari. Seluruh warga tertidur pulas, deru hujan adalah musik penghantar tidur nya. Adapun petir dianggapnya sebagai iklan sebab hujan nampaknya tak akan pernah berhenti walau berjam jam lamanya, persis cerita sinetron yang ditakuti oleh Salmah.  Suara kodok ber koang koang tak kami hirau lagi, air deras menggedor gedor sungai tak kami dengar lagi.   Sementara Saleng, nyenyak tidur bersama bunga mimpinya, saat terpilih sebagai staff presiden.  Diantara lima  staff yang telah dilantik oleh presiden, Saleng merasakan ia ada di sana.

Terpilihnya Saleng sebagai staff presiden pun tak ia ketahui sebab musababnya.  Secara tiba tiba saja ia berdiri tegak se pundak presiden saat menerima surat tugas sebagai staff ahli bidang orang biasa biasa saja. Adapun tugas dan tanggungjawabnya adalah menceritakan mimpi orang biasa menjadi sukses.  Bukan main girangnya Saleng, sepulang dari Jakarta. Masih dalam mimpinya, ia bertandang ke Warkop "Jangan Ada Dusta di antara kita".  Ia lalu memesan kopi hitam nan manis, alias kopi capres. "Woi Saleng, kau sukses tak terkira. Kau minum pesan pula kopi Capres. Ketahuilah, sejak presiden terpilih kopi jenis ini tak laku laku" ujar Rahim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun