Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dunia Memanggil JK

19 November 2019   00:57 Diperbarui: 20 November 2019   15:03 3303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jusuf Kalla bertemu dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di Phnom Penh, Kamboja pada Senin (18/11/2019). Kehadiran Wakil Presiden RI ke 10 dan 12 tersebut untuk menghadiri Forum Universal Peace Federation (UPF) Asia Pacific Summit 2019.| Sumber: Ade Danhur

Tokoh perdamaian bukan hanya telah melekat pada diri Jusuf Kalla tetapi juga telah melekat pada jiwa seorang tokoh asal Bone Sulawesi Selatan itu. Tengoklah, tak cukup sebulan setelah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla tetap mendapat penghormatan dari pemimpin dunia.

Bukan sebagai pejabat negara, melainkan sebagai pejabat kemanusiaan. Sambil ngopi pada tengah malam ini, tak ada teman ngobrol sebagaimana pada pagi hingga sore hari, ku buka laman sosial media. Kubacai demi kubaca beberapa informasi melalui laman komentar. Media berbasis sosial seperti instagram, twitter, YouTube dan Facebook. 

Cukup lama, mencari celah sekiranya ada yang menarik buat bahan tulisan. Maklum, malam ini adrenalin penulis jalanan itu, menyeruak sedemikian rupa. Lalu tiba mataku, tertuju pada sosok manusia semampai, berjas. 

Pria berkacamata itu sedang melangkah tepat di altar karpet merah. Pada sisi kirinya, seorang pejabat negara dunia, YM Samdech Techo Hun Sen Perdana Menteri Kamboja ikut berjalan mendampinginya, sepantasnya seorang pejabat negara tetangga. 

Dia adalah, Jusuf Kalla, atau lebih akrab disapa JK, Senin 18 November 2019 bersama rombongannya, Syafruddin mantan Wakapolri dan Menpan RB, Husain Abdullah mantan Jubir Wapres istana 2, Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM, Yadi Jenthak pengurus DMI.  

JK, rupanya sedang dijemput oleh Hun Sen guna menghadiri Forum Universal Peace Federation (UPF) Asia Pacific Summit 2019., yang dihadiri 18 pemimpin negara. 

JK selaku pejabat kemanusiaan, diundang untuk berbagi pengalamannya mendamaikan beragam konflik di Indonesia serta bagaimana peran dan jiwa JK menangani segala bencana di negeri ini.

20 Desember 2001, alam pikiran ku terbawa ke sana, sebuah kota nan sejuk dipenuhi pinus serta bunga mewangian, Malino. Hape merk Motorola, yang bentuknya tebal seperti batu bata. Jika ada yang menelepon, layarnya bagaikan mata burung hantu, menyalak merah. 

Sore itu, berdering, nomor asal penelpon tak tertera pertanda berasal dari luar negeri. "Ano, segeralah kau kirim audio hasil deklarasi Malino itu. 40 negara asing akan mendengar suaramu", begitu pesan suara berat dan khas Pam Simandjuntak, produser radio BBC London dari ujung telepon markas BBC World Service di London, kala itu itu 20 Desember 2001.

Tak jauh dari tempatku menerima telepon, seorang pejabat teras kepolisian daerah Sulawesi Selatan mengikutiku, bertanya penuh curiga "kau mau ke mana? Bahan apa lagi yang yang kau kirim ke luar negeri", tegur nya sambil nyindir, sebab ia tau ke mana saya akan mengirimnya. Kubilangi, tenang saja, kita semua ingin damai.

Sekitar 20 menit lamanya, sambungan jarak jauh kembali berlangsung. Kubacakan pengantar, tentang daerah yang pernah berkonflik dan saling bunuh sejak tahun 1998, akhirnya damai di tangan Jusuf Kalla. Lalu kemudian suara Jusuf Kalla terecord tajam dan jernih di markas siaran radio terbesar di dunia itu.  

Begitulah ceritanya, berjam jam hingga pagi suara ku dan suara JK yang kemudian diterjemahkan melalui 40 bahasa itu, tersiar dari ribuan gelombang radio di dunia, yakni "Deklarasi Malino 1". Bertahun-tahun konflik, dendam kesumat telah beranak-pinak, hanya dalam tempo dua hari berakhir melalui pikiran serta tangan dingin Jusuf Kalla.

Jika Poso dilanda konflik pada tahun 1998, lalu setahun kemudian konflik yang sama juga terjadi di Ambon. Saling bunuh kedua pihak antarkedua agama, eksodus memenuhi kapal kapal Pelni yang mengangkut warga pendatang menuju kampung halamannya memenuhi halaman koran serta layar televisi masa itu.

Kapal kapal silih berganti mengantar eksodus, mereka membawa pakaian melekat pada badan, menggendong anak kecil, tua renta perempuan tertatih tatih naik tangga kapal, cerita mencekam, horor serta asusila tersiar dari mulut ke berbagai telinga, sungguh tak nyaman dalam pendengaran.

Bulu kuduk berdiri, emosi hendak membalas, derai air mata mengalir, kesedihan tak terbaca lagi.

Begitulah pilu demi pilu oleh karena konflik berkecamuk tak ada yang sanggup menyelesaikan. Lalu tibalah akhirnya, 13 Februari 2002, Jusuf Kalla kembali membacakan "Deklarasi Malino 2" untuk perdamaian di Ambon. Maka sejak saat itu, lagu Ambon Manise kembali merekah dan merona. Dansa ala Ambon kembali bergoyang.

Pembaca masih ingat lagu ini?

Jinoe loen kisah saboh riwayat/ Kisah baroe that... baro that di Aceh Raya/Lam karu Aceh... Aceh... Timu ngon Barat/ ngon Barat
Di saboh teumpat... Teumpat... meuno calitra// 
 

Lagu ini mendayu sedih pada Desember 2004, saat Tsunami meluluh lantakkan Aceh, provinsi Serambi Mekkah itu. Ratusan ribu nyawa, tersapu air bah yang kencangnya bagaikan jet pesawat itu. Rumah rumah dan gedung tersapu air. Seperti untaian Rafli melalui lagu Kisah Anak Yatim di atas, "Kisah yang baru sekali terjadi di Aceh Raya".  

Sekali dalam dekade kita, dalam dasawarsa yang kita saksikan, yang menyebabkan serasa pada saat itu negara kita kelabakan menghadapinya. Bala bantuan menumpuk dari belahan dunia, relawan tak terhitung jumlahnya juga dari belahan pelosok dunia, uang bertumpuk tak tahu mau diapakan? 

Mayat bergelimpangan, suara tangis pilu melolong, gelap tak ada cahaya, guncangan bumi terus bergetar. Dari atas pesawat Hercules TNI AU, menjelang pagi- saya pun ikut menyaksikan Aceh.

Di sini, sosok mungil yang cekatan dan ceplas ceplos kembali muncul. Perintah perdana dan kedua "Tidak usah cari yang pegang kunci gembok. Ambil pistol, tembak gembok itu," perintah JK pada malam itu, kepada utusan Kementerian Kesehatan agar mengeluarkan segera obat obatan dan alat kesehatan untuk dibawa ke Aceh, pada subuh hari.

Perintah kedua, JK pukul meja. Plok, "Saya yang bertanggung jawab atas segala persoalan yang akan timbul di kemudian hari. Saya yang masuk penjara, bukan saudara. Kalau Saudara menolak perintah ini, letakkan jabatan Saudara sekarang juga," suruh JK pada seorang staff utusan kementerian sosial. (Sumber Buku Ombak Perdamaian).

Kudengar pula satu cerita, tapi entah benar atau tidak. Kira-kira seperti ini, "Turunkan lebih rendah lagi setinggi pohon kelapa itu. Kau pilot dari Bugis, kenapa takut", kira kira begitu perintah si mungil ini, memerintahkan pada pilot yang membawanya mengunjung Meulaboh untuk melihat dari udara kondisi di sana.

Begitulah JK, cekatan dan gerak cepat ketika memimpin upaya penanggulangan bencana tsunami di Aceh. 

Maka pantas, jika Majalah Tempo melalui cover-nya menampilkan sosok JK yang wajahmnya berkerut tapi tak bisa menyembunyikan kesedihan.

Ia perlihatkan ketegarannya sebagai seorang Wapres saat itu kepada rakyatnya. Tempo menulisnya 'SUPER WAPRES". Segala penanggulangan bencana Tsunami Aceh akhirnya berjalan lancar dan teratasi. Melalui langkah kaki seorang JK.

Kali kedua, Jusuf Kalla memiliki peran penting di Aceh. Kala itu, 29 tahun, sekelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang memisahkan diri dari NKRI.

Jumlah korban tewas tak lebih dari 35 ribu rakyat Aceh sejak konflik itu berlangsung, damai di tangan Jusuf Kalla melalui Perjanjain Helesinki Finlandia 15 Agustus 2005. Tak lebih dari setahun, pikiran jernih serta jiwa kemanusiaan seorang JK melayani rakyat Aceh, negeri Serambi Mekkah itu.

Maka sejak saat itulah, episode perdamaian dan kemanusiaan lahir dari tangan Jusuf Kalla.Tentu kita tidak berharap terjadi lagi bencana apalagi konflik di Indonesia, sebab "titah" JK telah mengalir pada Indonesia, bagaimana berdamai dan bagaimana menangani bencana.

Hari ini, 18 November 2019 JK bertolak ke Cambodia. Selama dua hari, JK menurut Husain Abdullah akan berbagi pengalaman bagaimana mendamaikan dunia, "sharing pengalaman dalam penyelesaian konflik di Indonesia dan luar negeri".

Manusia pada seluruh dunia tak ada beda kecuali warna kulit dan bahasa. Ia adalah rumpun dunia, memiliki jiwa dan rasa yang sama soal selera perdamaian. Segala hal bentuk konflik, perang lokal maupun dunia tentu bermuara pada perdamaian.

Tetapi menuju proses perdamaian tidak semudah tangan disibak. Proses yang dapat mencapai ke arah muara itu, tak dimiliki oleh banyak tokoh. Betapa banyak tokoh kita di Indonesia?

Sampai saat ini, kita hanya memiliki satu tokoh perdamaian, yakni Jusuf Kalla. Maka pantaslah, jika dunia memanggilnya.

#penulisjalanan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun