Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi Part II, Mengapa Ada Dia?

21 Oktober 2019   09:24 Diperbarui: 21 Oktober 2019   12:32 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat sedang serius menatap televisi tanpa kedipan, Jokowi kali kedua bersumpah sebagai Presiden RI, ia ditemani oleh seorang kyai kharismatik dari organiasi terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU) KH.Ma'ruf Amin.  

Seorang teman menceritakan pengalaman menakuti orang tuanya. "Jangan menciptakan ulasan seperti itu. Apalagi membahas perihal kekuasaan. Jangan kritik" sebenarnya hanya menghardik penuh canda tetapi sang orang tua menanggapi serius "ihh, berarti seperti jaman Suharto dong"? .

Jokowi - Ma'ruf kini telah resmi sebagai presiden dan wapres lima tahun mendatang. Tak jauh dari posisi ia dilantik, berdiri tegak seorang pria , yang setahun lebih kemarin menitihkan kritikan nan Tajam pada Jokowi, emosi meledak ledak hingga entah sadar atau tidak, memukul meja pada podium saat berkampanye. Ia begitu marah, mengumpat.

"Hei adek-adekku, kau yang ada di tentara' di polisi yang masih aktif, ingat kau adalah tentara rakyaatt!, polisinya rakyaatt!, seluruh rakyat indonesiaaa. Kau tidak boleh mengabdi pada segelintir orang, apalagi kau membela antek-antek asing!"  Kita tentu masih ingat, teriakan Prabowo itu menyindir kekuasaan yang sedang dipimpin oleh Jokowi.  Mantan Danjen Kopassus itu, bersama beberapa kelompoknya menyoroti Jokowi.  Oleh tulisan ini, lalu kusebutnya sebagai DIA.  "Mengapa mesti ada DIA bersama  Jokowi part II"

Praktek demokrasi  yang sedang terintis saat ini di Indonesia, benar benar membuat masyarakat yang kritis -  keheranan yang tak habis pikir. Praktek  demokrasi macam apa ini? Bukankah di belahan dunia manapun jika mengalami kekalahan pada Pemilu tak melibatkan diri pada kekuasaan yang sedang berjalan? Pula  bagi kelompok yang menang Pemilu maka ia akan percaya diri menjalankan  kekuasaan lalu membangun sesuai apa yang ia cita citakan sebagaimana janjinya pada rakyat.  Tetapi di Indonesia? Mengapa bisa seperti ini? Bukan kah membangun bangsa tidak berarti semua harus ikut dalam gerbong kekuasaan? Ia wajib tetap berada di luar gerbong sebagai oposisi agar pemerintahan atau kekuasaan yang sedang berjalan tetap ada yang mengotrolnya,harus berimbang sebab itulah cita cita demokrasi. 

Membangun negara bukan sekedar kerja kerja kerja dan kerja. Membangun sebuah negara juga harus tercipta demokrasi, otokritik. Kekuasaan akan kebablasan jika tak ada kelompok mengontrolnya. Jika tak ada kekuatan yang melakukan kontrol itu. Kekuasaan wajib menciptakan ruang ruang demokrasi melalui kritik bagi perjalanan kekuasaan yang sedang berjalan.

Demokrasi memang sebuah impian, ia hanyalah wadah imajiner yang diisi oleh orang orang yang memiliki ideology menyatukan kepentingan, muara samudranya pun terlihat , tak ada catatan yang menyebut demokrasi itu akan tercapai. Ia selalu menjadi impian pada semua pihak, terutama pada pelakon politik di panggung kekuasaan. Seperti halnya Jokowi yang sedang mengimpikan demokrasi part II seperti apa yang ia pertontonkan saat ini.  Walaupun dalam sebuah etika demokrasi dan tradisi demokrasi yang paling dihormati , prosesnya  telah mengalami  kekeliruan etika,  yang konon di sekitarnya  sebagai ring 1 kekuasaan adalah mereka yang digelari sebagai aktivis dan pendekar demokrasi. Yah, Terdapat LSM , jurnalis senior, profesional serta aktivis.  

Beberapa bulan lalu, melalui masa masa proses demokrasi itu. Anak bangsa negeri ini terpolarisasi pada dua kubu yang bahasa demokrasinya  ketika itu, Kampret dan Cebong.  Mereka meretas beragam isu, beragam hoax, saling menjatuhkan sama lain. Akibatnya,  negara dilanda intoleransi dan diskriminasi.  

Pada proses proses itu,  negara telah mengeluarkan dana trilyunan rupiah, lalu kemudian jatuhnya korban tewas atas proses menuju demokrasi yang stabil dan sehat sesuai yang dicitaka citakan. Tetapi pada akhirnya, yang dapat kita saksikan adalah - proses membagi kekuasaan atas nama kerja, kerja, kerja dan percepatan pembangunan.  

Tengok proses demokrasi di negara manapun, tak ada praktik sedemikian tak rupawannya atas apa yang kita saksikan pada fase Jokowi Part II ini.  Yang pada akhirnya, Jokowi sendiri tersandera oleh demokrasi buatannya sendiri.  Catatan buruk pada awal periode ini, kepada siapa rakyat akan percaya atas amanah dari kata Demos dan Cratos itu?  Jika semua pelakon telah menyatu?  Yang mengatasnamakan oposisi kini mendapat jatah kekuasaan lalu berimbas pada wakil rakyat di gedung DPR. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun