Mohon tunggu...
Anom Bhuja Sukardika
Anom Bhuja Sukardika Mohon Tunggu... Penulis - Calon S.E, punya cita-cita dapet gelar M.M

Masih mahasiswa, suka berita berbau politik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ini Saran Saya untuk KPU

7 Juni 2019   11:52 Diperbarui: 7 Juni 2019   14:19 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilu Serentak 2019 telah usai sebulan yang lalu, tepatnya 17 April 2019. Hasilnya pun sudah diumumkan, meskipun masih ada sengketa hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Pemilu Serentak ini dikatakan Pemilu terbesar di Indonesia dan Pemilu yang memakan korban terbanyak. 

Data sementara secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri (CNN Indonesia, 7 Mei 2019). 

Tentu hal ini tidak bisa menyalahkan pihak penyelenggara, yaitu KPU, karena ini merupakan takdir dari manusia. Rata-rata petugas yang meninggal disebabkan karena kecapekan mengingat dalam proses pemungutan suara dari tahap penyebaran Formulir C6 hingga penghitungan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) memakan waktu yang lama. 

Bahkan, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) baru bisa pulang dari TPS keesokan harinya. Hal ini karena jumlah surat suara yang dihitung sangat banyak mengingat Pemilu kali ini mendapatkan 5 surat suara per orang.

Kebetulan saya merupakan petugas KPPS di salah satu TPS di Kota Denpasar, Bali. Dan saya telah merasakan bagaimana rumitnya proses penyebaran formulir C6 hingga proses pemungutan suara sampai proses penghitungan suara. 

Tentu saya juga merasakan bagaimana lelahnya yang dirasakan oleh petugas KPPS dari daerah lain. Saya melakukan tugas sebagai petugas KPPS hingga larut malam sehingga saya baru bisa sampai dirumah pada pukul 03.00 keesokan harinya. Bahkan, ketua KPPS harus ke kantor lurah untuk mengurus administrasi yang berhubungan dengan TPS tersebut.

Bisa dibayangkan betapa lelahnya petugas KPPS dalam menjalankan tugasnya. Banyaknya surat suara yang harus ditulis identitas wilayahnya dan banyaknya formulir yang harus diisi menjadi salah satu penyebab kecapekan petugas KPPS. Bahkan dalam proses penghitungan suara, yang pada surat suara Pileg itu banyak anakannya, diperlukan tenaga supaya tetap focus dalam menghitung suara.

Dalam proses pemungutan hingga penghitungan suara, saya diberikan konsumsi berupa jajanan basah dan kopi pada pagi harinya lalu pada siangnya diberikan nasi kotak dan air mineral. Untuk sorenya diberikan kopi, air mineral, dan nasi kotak. 

Hal ini cukup bagi saya meskipun mata masih belum bisa menahan kantuk. Bahkan saya juga mendengar di berita bahwa di tempat lain petugas KPPS meminum minuman suplemen agar tetap terjaga. Hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab petugas KPPS meninggal karena serangan jantung atau sebagainya.

Dengan adanya berita mengenai petugas KPPS banyak yang meninggal, tentu hal ini tidak diharapkan bagi semua pihak. Saya bersyukur karena masih diberikan kesehatan dalam menjalankan tugas saya sebagai petugas KPPS. 

Sebagai petugas KPPS yang telah menjalankan tugasnya pada 2 pemilihan (Pilkada Guberner Bali 2018 dan Pemilu Serentak 2019), saya mengajukan beberapa usulan saya untuk KPU supaya pada perhelatan Pemilu selanjutnya petugas KPPS tidak terlalu capek dalam bertugas.

1. Formulir C6 sebaiknya sudah berisi identitas supaya petugas hanya menyebarkan saja tanpa perlu menulis lagi. Pada Pilkada 2018, formulir C6 sudah tertulis identitas dari pemilih, namun pada Pemilu 2019 formulir C6 masih berupa kosongan. Saya harap KPU dapat mengatur masalah ini.

2. Identitas wilayah pada surat suara agar diperbolehkan diisi menggunakan stempel. Tentu stempel yang digunakan merupakan stempel jenis Flash yang hasilnya lebih bersih dan tintanya tidak tembus karena stempel ini tintanya berada di gagang stempel. Saya tidak tahu apakah selama ini penggunaan stempel memang diperbolehkan atau tidak mengingat belum diatur pada buku pedoman KPPS.

3. Gunakan laptop/PC untuk mengisi formulir. Seperti pengisian SPT Pajak, saya berharap pengisian formulir ini dapat menggunakan Laptop yang telah berisi software e-Formulir untuk memudahkan KPPS dalam melakukann rekapitulasi suara. Selain itu, software yang digunakan diharapkan dapat menghasilkan file .CSV untuk nantinya di-upload oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan/desa ke server KPU. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan pada system Situng dan memudahkan rekapitulasi berjenjang sehingga proses rekapitulasi dapat berjalan lancar dan cepat.

4. Jika poin 3 tidak dapat dilakukan, sebaiknya formulir C1 agar boleh difotokopi. Selama ini, saya menulis satu bendel formulir C1 beserta lampiran-lampiran yang lain. Meskipun akhirnya saya mengetahui saat Pemilu 2019 bahwa tidak perlu menulis formulir salinan sebanyak satu bendel, cukup menulis sebanyak 5 rangkap (untuk diserahkan pada PPS, PPK, KPUD Kota, KPUD Propinsi, dan arsip) ditambah untuk saksi-saksi yang hadir. Namun saya meminta kepada KPU agar diatur supaya hal ini diperbolehkan untuk difotokopi

5. Pemilu Serentak 2024 mohon jangan dalam satu waktu. Seperti kita tahu bahwa Pemilu Serentak 2024 nanti akan menggabungkan Pilpres, Pileg, dan Pilkada dalam satu waktu. Artinya, saat Pemilu 2024 nanti pemilih akan mendapatkan 7 surat suara. Meskipun aturan ini masih dapat diubah oleh DPR dan Presiden mengingat pada perhelatan Pemliu 2019 yang lalu memakan banyak korban dan waktu, namun saya berharap untuk Pemilu 2024 nanti agar ada pemisahan antara Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dan Pemilu Daerah (Gubernur, Walikota/Bupati, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kab) antara 1 minggu hingga 1 bulan terhitung dari hari pemungutan suara Pemilu Nasional. Hal ini bertujuan agar petugas KPPS dapat beristirahat dan dapat meringankan beban petugas KPPS.

6. Surat suara Pilkada agar digabung. Pada Pilkada Serentak yang telah digelar sebelumnya, ada beberapa daerah yang mengadakan Pilkada untuk memilih Gubernur sekaligus Walikota/Bupatinya. Saya berharap pada Pilkada Serentak 2020 (yang kabarnya merupakan Pilkada terakhir yang kepala daerahnya dipilih oleh rakyat karena di daerah lain akan diangkat Plt. jika tetap diadakan Pemilu Serentak+Pilkada 2024) agar diterapkan penggabungan surat suara. Selain hemat kertas, penggabungan ini juga menghemat kotak suara dan hemat waktu. Harapannya, jika ini berhasil diterapkan, maka untuk pemilu jenis lainnya seperti Pileg dapat digabungkan juga sehingga tidak ada lagi surat suara yang lebar bahkan tidak bisa dibuka di bilik suara karena lebarnya yang mungkin selebar alas tidur. Selain itu, penggabungan surat suara ini dapat menghemat waktu karena proses penghitungan suara dapat dilakukan sekaligus.

Itulah beberapa usulan dari saya untuk KPU agar Pemilu menjadi lebih baik. Sangat sulit kita menerapkan e-voting yang meskipun akan menghemat segalanya, namun tidak semua daerah yang TPS-nya terjangkau listrik. Budaya kita yang masyarakatnya ikut menyaksikan proses penghitungan suara bagai menonton pertandingan sepakbola karena dianggap seru kemungkinan akan hilang dengan adanya e-voting karena hasilnya akan muncul begitu cepat dan kurang dapat dipercaya hasilnya karena teknologi seperti ini rawan di-hack. Penggunaan e-voting menurut saya sangat bagus, namun saya pesimis hal ini diterapkan dalam waktu dekat. 

Saya rasa usulan saya ini masih ada kekurangan, jadi untuk para pembaca yang memiliki usulan lain dapat berkomentas dibawah. Mari berdiskusi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun