Mohon tunggu...
Annissa Damayanti
Annissa Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Model Problem Posing Sebagai Peluang Terlepas dari Sistem Pendidikan Tertindas di Masa Pandemi Covid-19

16 Januari 2021   16:37 Diperbarui: 16 Januari 2021   16:50 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

November 2019 dunia digemparkan dengan munculnya salah satu virus yang muncul di Benua Asia bagian Timur, tepatnya di Kota Wuhan, Tiongkok. Virus tersebut yaitu coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Menurut Yuliana (2020 : 1). Proses penyebarannya terbilang cukup cepat, terlebih karena banyaknya mobilitas yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai dunia membuat virus tersebut mudah menyebar ke negara lain, salah satunya Indonesia. Awal Maret 2020 Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengkonfirmasi bahwa terdapat kasus positif pertama di Indonesia, tepatnya di daerah Depok, Jawa Barat. CNN Indonesia (15 Januari 2021) memberitakan jumlah akumulatif konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sejak Maret 2020 menjadi 882.418 orang. Dari jumlah akumulatif itu sebanyak 718.696 orang sembuh (bertambah 7.491) dan 25.484 orang lainnya meninggal dunia (bertambah 238).

Berita mengenai terkonfirmasinya kasus positif covid-19 pertama di Indonesia, mengakibatkan hampir seluruh kegiatan dari berbagai sektor mengalami perubahan dalam pengerjaannya, salah satunya adalah sektor pendidikan. Sejak Maret 2020, hingga saat ini sektor pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi terhitung hampir tiga semester tidak menjalankan pembelajaran di sekolah atau universitas. Pembelajaran dilakukan di rumah masing-masing secara dalam jaringan (daring) dengan menggunakan beberapa platform pendukung seperti google meet, zoom meeting, whatsapp group, dan lain-lain. Pembelajaran secara luar jaringan (luring) tidak memungkinkan untuk saat ini, disaat kasus positif semakin meningkat setiap harinya. Pembelajaran dari rumah ini dikenal dengan “Pembelajaran Jarak Jauh” atau biasa disebut dengan PJJ. Perubahan sistem pembelajaran dari rumah ini dilakukan untuk mengurangi penyebaran kasus positif dan mencegah timbulnya cluster covid-19 di sektor pendidikan.

Pemberlakukan PJJ dengan tujuan untuk mengurangi penyebaran kasus positif dan untuk mencegah timbulnya cluster covid-19 ternyata tidak mulus dalam penerapannya. Terdapat tantangan dan hambatan yang harus dilalui oleh elemen-elemen yang ada di sektor pendidikan baik itu tenaga pendidik, peserta didik, dan juga wali peserta didik yang saat ini perannya sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan PJJ. Dimana ketiga elemen tersebut di saat kondisi seperti ini harus saling bersinergi satu sama lain untuk menghadapi tantangan dan hambatan selama melaksanakan sistem pembelajaran dari rumah. Dalam keterbatasan untuk melaksanakan pembelajaran daring, tidak semuanya berjalan dengan baik tentunya ada kendala yang dihadapi terutama daerah yang terletak di pelosok. Masih terbatasnya kepemilikan komputer atau laptop dan akses internet, merupakan masalah utama yang berdapampak pada tidak meratanya akses pembelajaran daring (Gusti, et al., 2020 : 108)

Tantangan dan hambatan selama PJJ tidak hanya dari sisi keterbatasan sarana dan prasarana serta akses internet, namun dalam proses pembelajarannya pun terdapat tantangan dan hambatan. Dimana terdapat dominasi peran tenaga pendidik atau guru di dalam proses pembelajaran secara daring. Dominasi peran ini diimplementasikan melalui penugasan yang diberikan kepada peserta didik selama PJJ berlangsung. Detik.com (18 Maret 2020) memberitakan “ Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka malah stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangan tertulis pada Rabu (18/3/2020). Disatu sisi pendidik dominan, disisi lain peserta didik tidak aktif dalam pembelajaran. Menurut Anugrahana (2020 : 287) Kelemahan dalam pembelajaran daring adalah kurang maksimalnya keterlibatan siswa.  Keterlibatan siswa yang dimaksud dapat dilihat dari hasil keterlibatan siswa dalam mengikuti  pembelajaran daring secara penuh dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran. Dari hasil  penelitian menunjukkan bahwa hanya 50% siswa yang aktif terlibat secara penuh, 33 % siswa yang  terlibat aktif. Sedangkan 17% lainnya, siswa yang kurang aktif dan kurang berpartisipai dalam  pembelajaran daring.

Terbatasnya interaksi yang dilakukan oleh guru dengan peserta didik karena pembelajaran online, ditambah dengan pemberian tugas kepada peserta didik setiap hari dapat dikatakan peserta didik mengalami penindasan di dalam proses pembelajaran daring ini yang berdampak pada ketidak aktifannya dalam pembelajaran. Disatu sisi peserta didik harus berusaha mengembangkan materi pembelajaran yang diberikan oleh guru nya, lalu kemudian di bebani juga dengan tugas yang semakin menumpuk setiap harinya. Dengan pembelajaran daring ini peserta didik secara tidak langsung dituntut untuk mengembangkan dirinya, karena guru hanya menyampaikan materi yang seharusnya saja tanpa menyediakan ruang dialog atau diskusi diantara ke dua belah pihak tersebut, hal ini dapat terjadi karena alasan keterbatasan waktu dalam pembelajaran secara daring. Dengan adanya dominasi salah satu pihak di dalam pembelajaran, menyebabkan tidak tercapainya sebuah model pendidikan yang merepresentasikan sebuah kebebasan dan humanisasi.

Berdasarkan contoh kasus tersebut dapat dianalisis dengan salah satu pemikiran tokoh yang relevan hingga saat ini, yaitu pemikiran Paulo Freire mengenai pendidikan tertindas. Pendidikan tertindas menurut paulo freire adalah pendidikan yang tidak memiliki kebebasan, maka dari itu Freire mengkritik agar pendidikan menuju suatu kebebasan. Menurut Datunsolang (2017 : 145) Konsep pendidikan pembebasan menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Hal ini didasari dari pandangannya melihat kenyataan manusia mengalami proses penindasan yang tersistematis, selain itu pendidikan harusnya membebaskan manusia dari perlakuan-perlakuan yang membelenggu dan cenderung menginjak-injak kemanusiaan (dehumanisasi). Manusia harus menjadi subyek yang menentukan keputusan-keputusan yang diambil. Bukan tenggelam dengan keadaan yang menindas.

Konsep pendidikan tertindas menurut Freire digambarkan melalui model pendidikan “bank” dimana model pendidikan ini di implementasikan pada contoh kasus tersebut. Guru hanya menyuapi kita atau memberi celengan dengan soal-soal dan materi, tanpa tahu apakah peserta didik sudah benar benar memahaminya atau belum. Menurut Paulo Freire, membaca dan belajar tidak hanya sekedar menghafal tanpa  mengetahui maknanya. Namun ada esensi yang lebih penting yakni memahami konteks yang sedang ia baca (Robikhah, 2018 : 10) Model ini  merepresentasikan suatu penindasan, dimana peserta didik seolah dibuat hanya menerima saja apa yang sudah diberikan dan diatur oleh guru, tanpa menyediakan adanya suatu dialog atau ruang penyampaian argumentasi dari peserta didik, dimana hal ini mengakibatkan kebudayaan bisu pada peserta didik tersebut sehingga tidak tercapainya suatu kebebasan dan humanisasi.

Dibalik tantangan dan hambatan yang dialami selama PJJ, juga terdapat peluang yang dapat kita lakukan untuk dapat memperbaiki sistem pembelajaran secara daring ini. Karena pembelajaran daring tidak terlepas dengan adanya koneksi suatu internet, memungkinkan kita untuk melakukan sebuah interaksi secara virtual. Terdapat beberapa platform yang dapat kita manfaatkan sebagai media interaksi agar tercapainya komunikasi dan dialog. Maka sistem pembelajaran daring yang masih merepresentasikan model pendidikan “bank” seperti yang Freire katakan, dapat kita ubah perlahan dengan menerapkan model “problem-posing”. Menurut McLaren dan Leonard (1993 : 110) “ Freire’s model of problem-posing education is a pedagogy for shifting people from naïve to critical consciousness.” Model ini dikenal juga dengan model hadap masalah. Menurut Mansyur (2014 : 73) Dalam pelaksanaan pendidikan hadap masalah pertama kali menuntut adanya  pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid. Hubungan dialogis – yang  harus ada pada pelaku pemahaman untuk bersama-sama mengamati obyek yang  sama – tidak dapat diwujudkan dengan cara lain. Menurut Freire (1970 : 86) “Problem-posing education, as a humanist and liberating praxis, posits as fundamental that the people subjected to domination must fight for their emancipation.”

Dengan mengubah model pendidikan “bank” menjadi model “problem posing”, elemen-elemen pendidikan akan bergeser dari kesadaran naif yang terbelenggu suatu penindasan menuju kesadaran yang kritis. Dalam model “problem posing” atau hadap masalah, guru dan murid akan memecahkan masalah yang terjadi dalam pembelajaran daring melalui komunikasi dan dialog yang dilakukan bersama untuk mencapai suatu kebebasan bersama dan mewujudkan suatu humanisasi di dalam sistem pembelajaran daring. Terdapat beberapa perbedaan antara model pendidikan “bank” dengan model “problem posing, menurut Freire (1970 : 82) “......problem-posing education regards dialogue as indispensable to the act of cognition which unveils reality. Banking education treats students as objects of assistance; problem-posing education makes them critical thinkers.” Dimana dengan menerapkan model “problem posing” sistem pembelajaran didasarkan pada adanya suatu dialog, dan peserta didik dalam pembelajaran tidak menjadi objek, namun ia sudah berpikir kritis. Model “problem posing” ini menempatkan guru dan peserta didik sebagai subjek yang menjalankan pembelajaran, dan objeknya yaitu media pembelajaran ataupun materi pembelajaran yang akan dilaksanakan. Dengan menggunakan model ini dalam pembelajaran daring, guru dan peserta didik akan saling mengajar dan belajar satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

  • Freire, Paulo. 1921. Pedagogy of The Opressed. New York: The Continum International Publishing Group Inc
  • McLaren, Peter dan Peter Leonard (Ed.). 1993. Paulo Freire A Critical Encounter. New York : Routledge
  • Gusty, Sri dkk. 2020. Belajar Mandiri Pembelajaran Daring ditengah Pandemi Covid 19: Konsep, Strategi, Dampak, dan Tantangan. Medan: Yayasan Kita Menulis
  • Yuliana. 2020. Corona Virus Disease (COVID-19) ; Sebuah Tinjauan Literatur. Wellness Journal. 2(1) : 1-2
  • Anugrahana, A. 2020. Hambatan, Solusi dan Harapan: Pembelajaran Daring Selama Masa Pandemi Covid-19 Oleh Guru Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 10(3) : 287
  • Datunsolang, R. 2017. Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Islam (Studi Pemikiran Paulo Freire). Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 5(1) : 145
  • Robikhah, A.S. 2018. Paradigma Pendidikan Pembebasan Paulo Freire dalam Konteks Pendidikan Agama Islam. Jurnal Pendidikan Islam 1(1) : 10
  • Mansyur, M.H. 2014. Pendidikan Ala “Paulo Freire” Sebuah Renungan. Jurnal Ilmiah Solusi 1(1) : 73
  • CNN Indonesia. (2020, 3 April). Corona, Kelas Daring, dan Curhat 2 Guru untuk Orang Tua. Diakses pada 15 Januari 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200330165053-284-488368/corona-kelas-daring-dan-curhat-2-guru-untuk-orang-tua
  • Detik.com. (2020, 18 Maret). Siswa Belajar dari Rumah, KPAI: Anak-anak Stres Dikasih Banyak Tugas. Diakes pada 15 Januari 2021, dari https://news.detik.com/berita/d-4944071/siswa-belajar-dari-rumah-kpai-anak-anak-stres-dikasih-banyak-tugas/2

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun