Mohon tunggu...
Annisha Triana Dewi
Annisha Triana Dewi Mohon Tunggu... Editor - siswa SMAN 1 Padalarang

InsyaAllah menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Andaikan

26 Februari 2020   21:29 Diperbarui: 26 Februari 2020   21:35 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mataku mulai buram. Pandanganku semakin kabur. Telingaku berdenging dengan keras. Banyak orang yang mengelilingiku. Tapi sayang mataku terpejam begitu cepat tanpa tau siapa yang menolongku.
Alat-alat medis kini setia sekali menemaniku setiap harinya. Cairan infus yang menjadi asupan bagi tubuhku. Lengkap dengan perban yang menutupi luka-luka yang ada di tubuhku.
"Alliya.." Terdengar suara lembut itu masuk kedalam telingaku. Suara malaikat baik yang tak pernah mengeluh.
Aku berusaha membuat mataku perlahan. Ketika itu yang kulihat adalah bunda yang sedang menatapku sendu sembari menggenggam tanganku erat. Terlihat senyuman padanya ketika aku membuka mata.
"Minum dulu ya nak." Ucapnya lembut sekali.
Tubuhku masih terasa remuk dan otak ku masih selalu terbayang kejadian lalu.
"Bunda, kok dada Alliya sakit ya?"
"Gak apa-apa. Itu masih belum pulih. Nanti gak akan sakit lagi ko" jawabnya tenang dengan elusan lembut di kepalaku.
Tak lama sahabat-sahabat ku datang. Mereka begitu ceria ketika melihatku sedang terduduk diranjang dan tersenyum lebar ketika mereka datang. Entah mungkin ini sudah hampir satu bulan kami tidak bertemu.
"Al, maafin kita-kita ya. Kita gak jagain kamu dengan baik. Padahal kita sahabat kamu" tutur Nariva sedih.
"Gak apa-apa ko. Lagian gak ada yang tau jugakan bakal ada kejadian kayak gitu"
"Awas aja kalo sampe dia berulah lagi".
"Udah deh Ren. Aku juga udah sehat ko."
"Eh tapi Al, emang beneran kalo dia ngelakuin itu tuh karena disuruh?" tanya Alen.
"Aku gak tau. Udah deh jangan dibahas lagi oke."
Benar memang. Ada baiknya untuk sementara semua perlu disembunyikan.
Hari ini aku bisa kembali ke sekolah, ya meskipun belum boleh melakukan banyak aktivitas karena kondisi tulangku yang belum pulih benar. Hampir seiisi kelas menanyakan kejadian kemarin. Bahkan mereka tidak habis pikir denganku yang masih memaafkan dia padahal sudah mencelakaiku. Tak lama seseorang memasuki ruang kelas dan semua mata tertuju padanya. Mereka menatapnya sinis. Aku tau siapa yang datang pagi ini.
"Eh, cepet duduk bentar lagi Pak Rudi datang" teriakku mencairkan suasana tegang ini. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang meskipun sebenarnya masih ada rasa takut dalam diriku.
Pelajaran hari ini telah berakhir. Semua orang dengan cepat berhamburan keluar kelas dan segera pulang. Di kelas hanya tersisa aku dan Lintang. Suasana kelas semakin hening ketika Lintang menghampiriku. Jujur saja, sebenarnya aku ingin segera lari dari sini dan meninggalkannya sendirian tapi aksiku terlalu lambat. Lintang sudah duduk tepat disampingku sekarang. Tubuhku mulai mendingin. Perasaanku semakin kacau.
"Masih berani sekolah?" tanyanya datar.
"Lintang, aku mau pulang" ucapku dengan berusaha keluar dari bangku. Tapi sayangnya tidak bisa. Dengan cepat Lintang berdiri tepat didepanku. Pergerakanku pun terhenti.
"Jangan harap aku bisa bersikap baik. Semua kesalahan kamu"
"Lintang, ada apa sih?" Tak sengaja aku meninggikan suaraku padanya. Terlihat amarah pada wajahnya ketika itu.
"Berani teriak kayak gitu?"
"Ma.. Maksudku gak.. gitu" jawabku terbata-bata.
Lintang pergi begitu saja tanpa menjawab apapun. Aku kembali duduk di bangkuku dan menatap kepergiannya. Tubuhku masih gemetar.
Setibanya di gerbang depan, Bunda sudah menjemput. Ketika pintu mobilnya ku, Bunda sudah tersenyum manis padaku.
"Hari ini kita ambil obat dulu ya".
"Oke bun"
Selama di perjalanan, aku hanya terdiam. otakku masih terisi dengan Lintang. Tiba-tiba mobil berhenti mendadak.
"Astaghfirullah" ucap Bunda
Terlihat didepan kami ada seorang pria berpakaian serba hitam berdiri didepan mobil kami lengkap dengan motornya. Ia menghampiri pintu mobil dan langsung mengetuknya dengan tidak sabaran. Aku sudah keringat dingin. Bunda menggenggam tanganku erat. Terdengar dari luar sana ia meminta kami untuk keluar dari mobil dengan suara ketukan yang semakin keras.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku jas sekolahku. Belum juga aku menekan tombol darurat, Lintang sudah muncul dan langsung menghajar pria itu. Aku dan bunda masih tidak berani keluar. Di luar, aksi pukul-pukulan semakin sengit. Si pria tetap mempertahankan helm yang dipakainya saat Lintang berusaha untuk melepas helm si pria. Raut wajah Lintang berubah. Seperti ada api di dalam diri Lintang yang terus membara.
"Bun, Alliya harus keluar" pintaku pada bunda
"Jangan Al, berbahaya"
Aku tidak mendengarkan apa yang diucapkan bunda. Aku melepas genggaman tangan bunda dan keluar dari mobil. Aku berdiri tepat didepan Lintang ketika ia akan memukul pria itu sekali lagi. Dengan jelas aku melihat Lintang yang sudah babak belur. Begitu juga pria itu. Lintang yang hanya menatapku langsung menurunkan tangannya yang masih mengepal seakan mengerti apa yang aku mau. Pria itu pergi dengan melajukan motornya cepat.
Nafas Lintang masih belum kembali normal. Tak lama Bunda juga turun menghampiriku.
"Lintang, baik-baik ajakan?" tanya Bunda lembut
"Lintang baik-baik aja tante" berusaha meyakinkan Bunda.
"Bunda antar kamu ya nak" tawar bunda pada Lintang
"Gak usah tante. Lintang bawa motor ko. Tante pulang sama Alliya aja. Saya ikutin dari belakang"
"Gak usah Lintang. Kamu udah babak belur gitu" jawabku cepat.
"Gak apa-apa ko. Aku takut orang tadi nyerang kalian lagi".
Akhirnya jadwal kontrol ku pun dirubah. Dan tentunya, Lintang mengikuti aku dan bunda hingga sampai dirumah. Belum sempat aku berterima kasih, Lintang sudah melesat jauh dengan motornya.

Kembali di ruangan serba putih, lengkap dengan wanita berjas putih bersih dan rambut yang tergerai rapi. Dokter Risya kembali meresepkan lagi obat untukku.
"Al, ini kamu sudah melakukan pemulihan sejauh ini. Jangan bosen-bosen liat obat ya. Nanti kita jadwalkan lagi untuk konsultasi ke psikologmu ya" jelasnya dengan nada lembut.
"Dok, aku bisa kembali kayak dulu kan?"
"Bisa. Kamu terus berdoa dan usaha terus ya"
Dokter Risya mengantarku sampai depan pintu ruangannya. Tak lupa ia menitipkan banyak amanat kepada bunda.
Karena aku tidak mungkin bolos lagi, jadi aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Kelasku ada di lantai kedua dari pintu utama dan tentu saja langsung menghadap ke arena lapang basket. Baru saja masuk pintu utama, semua orang berlari ricuh ke arah lapangan. Aku penasaran ada apa, padahal dilihat-lihat tidak ada guru yang sedang mengumumkan sesuatu. Tidak terlihat ada apa disana. Hanya banyak orang yang berkerubun. Aku menepuk pundak seseorang laki-laki di sebelahku yang kebetulan lebih tinggi dariku.
"Ada apaan?" tanya ku
"Si berandal lagi" jawabnya datar
Pikiranku langsung tertuju pada Lintang. Pasti dia lagi yang membuat keributan. Aku memaksakan diri menyelip diantara banyak orang agar bisa sampai ke tengah-tengah kerumunan. Tapi kali ini penghilatanku aneh. Justru Lintang yang babak belur. Pinggir matanya sudah membiru. Ujung bibirnya pun sudah luka. Aku tak tahan melihat Lintang seperti itu, seperti bukan Lintang. Cepat-cepat aku lari ke arahnya dan menariknya keluar dari kerumunan itu tepat ketika lawannya akan memukulnya lagi.
Aku mengajak Lintang ke UKS. Lintang hanya menurut saja tanpa ada penolakan. Disana UKS sepi, bahkan dokter yang biasanya berjaga pun tidak ada. Aku mencuci tangan ku lalu mengambil kotak P3K. Aku duduk tepat disebelah Lintang.
"Kok kamu yang luka?" tanyaku sambil membersihkan luka di wajahnya.
"Ya abis aku bisa apa" jawabnya dingin.
"Biasanya juga kamu yang buat orang lain babak belur"
Tak ada jawaban dari Lintang. Entah apa yang ada dipikirannya, raut wajahnya masih menyimpan kekesalan. Tatapan tajamnya tidak membuat ku takut mengajaknya berbicara.
"Kenapa Lin? Apa yang dipikirkan?"
Lintang menoleh ke arah ku dan menatap tajam. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.
"Mulai sekarang, kalo bunda gak jemput aku yang anter pulang"
"Kalo aku OSIS dulu gimana?"
"Aku tunggu"
"Kalo lama?
"Gak ada penolakan ya, Al. Ini demi kamu juga"
Aku hanya mengangguk mengiyakan saja. Lintang beranjak dari duduknya. Tanpa perkataan apapun ia pergi begitu saja. Aku sudah sangat memaklumi sikapnya yang seperti itu. Di awal pertemuan pun justru lebih dari ini.
Sesampainya dikelas orang-orang justru menanyakan Lintang. Tapi tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Lintang.
"Ra, ada apa sih sebenernya? Ko semua orang bahas Lintang lagi" tanyaku penasaran.
"Aku juga gak tau, Al. Gak pada mau kasih tau nih"
Perasaanku mulai tidak enak. Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi pada Lintang. Tapi apa?
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Ponsel ku pun ikut berdering menandakan sebuah pesan masuk. Pesan yang diterima dari nomor yang tidak dikenal.
"Aku tunggu di rooftop kalo masih ingin lihat Lintang baik-baik saja"
Jantungku seketika berdebat dengan kencang. Perasaanku semakin tidak karuan. Cepat-cepat aku berlari ke rooftop, padahal kondisi fisikku masih belum benar-benar bisa melakukan kegiatan fisik. Tapi jika tidak seperti ini, pasti sesuatu akan terjadi pada Lintang.
Benar saja. Sesampainya disana aku melihat banyak gerombolan teman-teman Alex. Dan benar, disitu juga ada Lintang. Alex melambaikan tangannya perintah agar aku menghampirinya disana. Tak berpikir panjang, aku berjalan mendekati tempat Alex dan Lintang berada meskipun aku sebenarnya takut sekali. Alex berdiri tepat dibelakang Lintang yang sudah bertekuk lutut lemah. Lintang tidak berani melihat ke arah ku. Lintang hanya bisa menekuk wajahnya.
"Apa kabar, Al? Masih mau lihat dia?" sembari menunjuk Lintang.
"Ada apa sebenarnya? Padahal kamu sudah di DO" jawab ku gemetar.
"Tanya sama pahlawanmu ini".
Aku melangkahkan kakiku untuk mendekat ke arah Lintang, tapi Alex justru menendang Lintang dengan kerasnya dan membuatku mundur kembali. Aku masih kebingungan dengan semua yang terjadi.
"Cukup Alex. Kamu bukan manusia" teriakku padanya.
Alex hanya tertawa mendengar perkataanku.
"Kalo iya gimana?"
"Apa yang kamu mau?"
Alex terdiam, seakan memikirkan sesuatu yang akan ia ucapkan.
"Aku mau, tinggalkan ayah kamu" jawabnya dengan suara lantang
"Maksud kamu?"
Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya Alex mau. Bukannya menjawab, Alex malah kembali menendang tubuh Lintang. Kali ini punggung Lintang yang menjadi sasaran. Aku semakin tidak tahan dengan perlakuan Alex. Aku dengan cepat menghampiri Lintang yang kini sudah tak bisa bertindak apa-apa lagi.
"Alliya. Sampai kapan kamu akan dibodohi dia? Huh?!"
"Lex, bisa jelaskan dulu? Aku muak liat semua kelakukan kamu. Apa kamu belum puas dengan dengan kejadian yang lalu?"
"Belum. Sebelum kamu lepas ayah" jawabnya dengan puas.
"Maksud kamu?"
"Lintang, itu adik ku". Jawaban Alex membuat ku terkejut. Bagaimana bisa padahal Lintang sendiri tidak pernah menceritakan jika dia punya kakak. Apalagi ini Alex.
Lintang menggenggam tanganku erat. Ia berusaha mendudukkan badannya.
"Dan, ayah kamu itu ayah kami juga" ucap Alex tiba-tiba.
Rasanya seperti di sambar petir mendengar apa yang keluar dari mulut Alex. Pikiranku semakin kemana-mana. Mataku mulai panas dan berair.
"Jeleknya, si bodoh ini justru menyukaimu"
"Cukup Lex" lerai Lintang.
"Kamu tau, Al. Sebenarnya, yang menyebabkan kamu kecelakaan waktu itu adalah aku" tutur Alex. Rasanya ingin aku mencabik-cabik Alex. Aku masih tidak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi.
"Masih inget saat mobil bunda mu di serang seorang pria? Itu juga aku yang minta pada mereka" jelas Alex sambil menunjuk ke arah teman-temannya.
Tidak sadar air mataku sudah mengalir. Aku benar-benar marah saat ini. Ternyata selama ini banyak sekali yang menutup-nutupi atas kejadian ini. Lintang tiba-tiba memelukku erat.
"Maaf, Al" ucapnya dengan semakin mengeratkan pelukannya.
Air mataku semakin tumpah dengan derasnya.
"Kenapa kamu gak bilang dari awal?"
Tidak ada jawaban dari Lintang. Aku dapat merasakan nafas berat Lintang.
"Sejak kapan Lin? Apa lagi yang belum aku tau? Apa lagi yang masih kalian sembunyikan dari aku?"
Masih tidak ada jawaban.
"Lin, jawab Lin" pintaku sambil memukul punggungnya.
"Al, maaf. Ayah sendiri yang minta untuk tidak bilang apa-apa ke kamu. Alex melakukan ini karena Alex tidak suka dengan cara ayah memperlakukan kamu."
"Tapi Lin, kenapa baru sekarang?"
"Sebenarnya, setelah kecelakaan mu karena Alex itu aku ingin ceritakan semuanya. Tapi Alex terus melakukan banyak usaha agar kai tidak percaya aku".
Tangisan ku kini bukan lagi tangisan sedih, tapi tangisan amarah. Marah akan segalanya. Marah pada ayah yang tega membohongi bunda. Apa mungkin sekarang bunda sudah tau?

Hari ini aku berniat menyusul ayah di London. Setibanya disana, aku bergegas menuju perusahaan ayah bersama Bunda dan Lintang.
Ayah baru saja selesai rapat, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat kami di ruangannya apalagi disana ada Lintang yang juga anak dari ayah.
"Ayah, bagaimana jika kita pisah?" ucap bunda to the point
Ayah sangat terkejut. Bagaimana bisa istri kesayangannya bisa berkata seperti itu
"Bun..."
"Yah, bunda gak ingin jadi seperti ini. Lintang, Alliya. Semua sudah cerita. Bukan seperti ini yang bunda mau."
"Denger dulu bunda"
"Apa pantas jika anak ayah sendiri yang ternyata buat Alliya celaka hingga trauma seperti ini? Apa yang ada dipikiran ayah setelah tau ini? Apa ayah tidak merasa bersalah? Tolong pikirkan yah.. Pikirkan kamu juga"
Ayah sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Apa yang dikatakan bunda itu semuanya benar. Aku dan Lintang hanya bisa memandangi keduanya. Air mata bunda pun pecah.
"Ayah, setelah aku urus semuanya, mari kita pisah ya. Alliya biar aku yang bertanggung jawab"
"Tapi bun.."
"Tolong ayah, mengerti perasaan kami"

Setelah ayah dan bunda berpisah, kini waktunya aku yang juga harus berpisah dengan bunda. Bunda yang harus menetap menjadi dokter di Indonesia sedangkan aku melanjutkan kuliah ku di Jerman. Berat rasanya meninggalkan bunda sendirian disini.
"Bunda, Alliya bakal video call bunda setiap hari. Harus bunda angkat yaa" ucapku sambil memeluk bunda.
Bunda mengelus-elus kepalaku dengan lembut. Memeluk erat untuk melepas kepergian ku ke Jerman.
Tanpa disadari, ternyata Lintang datang untuk memberikan salam perpisahan. Lintang yang kini sudah berseragam hijau.
"Al, sepulang dari Jerman jadilah orang seperti bunda. Jadilah dokter hebat seperti bunda. Jadilah orang tertangguh yang pernah aku kenal." Jelas Lintang. Ia memberikan sebuah gelang beraksen bintang padaku. Lintang bilang itu untuk meminta bantuan padanya jika aku ketakutan di Jerman.
"Al, baik-baik di Jerman oke"
Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Lintang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun