Mohon tunggu...
Annisha Triana Dewi
Annisha Triana Dewi Mohon Tunggu... Editor - siswa SMAN 1 Padalarang

InsyaAllah menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mozaik Kehidupan

26 Februari 2020   18:16 Diperbarui: 26 Februari 2020   18:21 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


"Menyenangkan ya jadi anak kecil, senang tinggal ketawa, sedih tinggal nangis" kataku setelah dewasa. Dulu, saat aku kecil, mungkin kisaran umur 6 atau 7 tahun aku selalu membayangkan menyenangkan ya menjadi dewasa. Tapi, nyatanya menjadi dewasa tak semudah bayanganku, tak semudah gema yang kudengar di ruang kosong, tak semudah apa yang kulihat di tempat terang.

Menjadi dewasa adalah suatu proses dimana bukan hanya fisikmu yang tumbuh, tapi pikiran dan perasaanpun harus bertumbuh. Ketika engkau dewasa bukan hanya tentang dirimu sendiri yang kau bahas, tapi oranglain pun akan menyusup masuk dalam cerita yang tak pernah kau bayangan bagaimana alurnya dan kearah mana. Tapi, disinilah tahun dimana semua pikiran, perasaan, dan fisik di uji.

"Sudahlah Bin, dia tak mau serius denganmu lantas apa yang mau kau perjuangakan? Rasa sakitmu? Apa yang mau kamu korbankan? Perasaanmu lagi? Sudahlah ini bukan waktunya kamu memikirkan dia, lihat dirimu, bagaimana kamu bisa membuat dia kembali jika kamu saja tak mencintai dirimu sendiri." Kata Rida sambil menahan emosinya.

Aku hanya tertunduk sambil menangis.

"Apa hidupmu ini akan terus seperti ini? C'mon hidup kamu, milik kamu Bin. Dengan atau tanpa dia kamu akan baik baik saja!" katanya lagi sambil berlalu meninggalkanku. Setelah kepergian Rida itu aku selalu merenungkan perkataan Rida yang seolah menohokku sangat dalam. Namun, aku selalu mencari pembenaran dalam isi otakku, yang sebenarnya tanpa pembenaran pun perkataan Rida itu seratus persen benar.

Setelah hari itu, aku sadar hidup bukan tentang cinta tentang dua remaja tapi lebih dari itu. Namun, hati dan pikiranku belum menyatu. Beberapa hari setelah putus kamar menjadi tempat terbaik untuk merenung. Aku jarang keluar kamar ketika di rumah, hanya sekedar makan dan minum baru aku keluar. 

Kulihat ibu yang ingin berbicara banyak denganku tetapi menahan karena melihatku seperti ini. Sekolah hanya terasa untuk membeli tisu. Sehari aku bisa menghabiskan 1 bungkus tisu seharga 2000 dan itu memang pemborosan. Untung saja Rida mengerti aku. Dia selalu mengajakku jajan ke kantin, tapi aku selalu menitip. Candaannya pun tidak dapat membantuku.

Hal ini sangat berpengaruh pada nilaiku. Belajarku menurun dan sering mengantuk. Mungkin beberapa guru yang dekat denganku merasa aku tak memiliki semangat belajar.

Iya, aku tahu ini salah tapi aku masih belum bisa. Aku juga tahu ini hanyalah cinta remaja, namun cinta ini adalah imajinasiku tentang keindahan dan berakhir seperti ini membuatku belum menerima.

Tak lama setelah hari itu, aku mendengar percakapan kecil antara bapak dan ibuku. "Pak, laptop teteh rusak, ibu ingin sekali beli yang baru, tapi sayang ibu belum punya uang pak, mamah belum ngasih gaji bapak minggu ini" kata ibu dengan raut sedih

"Bagaimana ya bu, bukan bapa ga ingin bantu ibu sendiri tahu sekarang bapa sudah ga bekerja lagi, penghasilan hanya dari gaji bapa kerja di mamah. Yang sabar bu, inshaallah, Allah kasih jalan" kata bapal sambil menenangkan ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun