Mohon tunggu...
An Nisa Uswatun K
An Nisa Uswatun K Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya sekedar tulisan saja

Perbankan Syariah'19 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Upaya Masyarakat Kota Gaplek dalam Menyublimasi Budaya Adat Lokal terhadap Penerapan Nilai Pancasila

2 Mei 2020   14:18 Diperbarui: 2 Mei 2020   14:19 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo oleh radar jogja

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Hallo, piye kabare cah? Apik-apik wae to. Aku ndue tulisan tentang tradisi ning omahku lho, ayo diwaca muga manfaat hehe. Selamat membaca!

Gunungkidul atau sering dijuluki Kota Gaplek ini merupakan salah satu kabupaten yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terletak di ketinggian 100-1000 mdpl, memiliki 18 kecamatan dan 144 desa. Dikelilingi oleh pegunungan seribu sehingga memiliki kesan yang estetik. Lebih dari 50% tanah di Gunungkidul mengandung karst atau kapur. Sehingga banyak perbukitan kapur yang biasa ditambang oleh masyarakat.

Yogyakarta sendiri dijuluki Kota Budaya, memang banyak sekali tradisi dan budaya didalamnya. Setiap daerah memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda. Di Gunungkidul hampir setiap kecamatan memiliki budaya masing-masing. Disini saya tidak akan menuliskan semua budaya di setiap kecamatan. Saya hanya akan menulis beberapa budaya yang saya ketahui yakni Cing Cing Goling, Babad Dalan dan Rasulan.

Tradisi pertama yakni Cing-cing Goling dilaksanakan setiap tahun setelah panen padi berakhir. Merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas berlimpahnya hasil panen dan ketersediaan air yang tidak pernah habis. Tradisi ini digelar di Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo yang merupakan tempat tinggal saya. Dalam tradisi ini terdapat berbagai budaya seperti kenduri, menyembelih ratusan ekor ayam dan menari tarian khas Cing-cing Goling.

Tarian ini diperankan oleh 24 orang. Cing-cing Goling mengisahkan tentang pelarian prajurit Majapahit, Wisangsanjaya dan Yudopati yang berhasil membuat bendungan sehingga bisa mengairi lahan pertanian menjadi sawah dan membuat warga setempat menjadi semakin sejahtera. Singkat cerita dua prajurit Majapahit tersebut menyatu bersama warga dan mengusir para perampok.

Dalam adegannya belasan orang berbondong-bondong menginjak tanaman-tanaman yang dimiliki warga setempat untuk mengusir penjahat tersebut. Yang unik dalam tradisi ini adalah saat dimana istri Wisangsanjaya mengangkat kemben atau dalam bahasa jawanya disebut cincing saat mereka sedang berlari. Yang lebih menariknya lagi disaat mereka menarik sambil bernyanyi: Cing... Goling, Cing.... Goling, Cing... Goling... sambil mengelilingi tokoh peran Wisangsanjaya dan istri beserta seorang pengawal membawa cemeti.    

Tradisi kedua yakni Babad Dalan merupakan upacara adat turun temurun yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali di Gunungkidul. Upacara Babad Dalan ini berhubungan erat dengan tokoh Ki Ageng Giring yang dulu dikenal sebagai Kyai Ageng Wonopenggolo putra Majapahit Prabu Wijaya IV. Konon dulu ceritanya di Desa Giring dan Desa Sodo terjadi wabah atau pagebluk.

Untuk mengatasi wabah tersebut masyarakat berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat mencari makam tersebut mereka melakukan pembabatan atau mbabati (membersihkan jalan) menuju ke lokasi makam.

Di sepanjang jalan menuju makam mereka menemukan sepetak tanah yang berbau wangi, masyarakat juga menemukan tutup kepala dan sebuah tongkat yang dinamai ­teken dan kethu. Diyakini oleh masyarakat barang-barang itu merupakan milik ki Ageng Giring. Akhirnya masyarakat menemukan makam tersebut di Desa Sodo, setelah itu mereka melakukan semedi dan berjanji akan syukuran bila Desa Giring dan Desa Sodo dapat kembali seperti semula tanpa ada gangguan pagebluk. 

Tidak hanya itu, disaat bersamaan juga ada tradisi Ringin Kurung, merupakan sebuah pohon beringin yang harus diikat dengan janur. Masyarakat yang mengikuti tradisi dihimbau untuk membawa clathung atau arit untuk mengambil janur yang dipasang di pohon kukun. Pohon kukun merupakan tanaman yang dulunya ditanam oleh sesepuh Giring. Dulu upacara ini dilaksanakan secara bersama sama oleh masyarakat Desa Giring dan Desa Sodo. Namun, seiring perkembangannya masyarakat di kedua desa melaksanakan upacaranya masing-masing. Upacara ini dilakukan setelah petani selesai memanen padi pada malam Jumat Kliwon pukul 15.00. Tujuan utama upacara ini  untuk mengingatkan ajaran-ajaran Ki Ageng Giring.

Makna dari tradisi ini adalah agar seseorang membersihkan jiwa dari hal-hal yang tidak baik, agar kita mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, keprihatinan dan keteguhan hati dalam keimanan. Selan itu masyarakat memiliki kepercayaan bahwa akan diberi keselamatan dan kesejahteraan bilamana melakukan upacara tradisi tersebut.

Sebelum melakukan acara ini, di malamnya Kamis Wage dusun-dusun yang berada di Desa Giring mengadakan malam tirakatan dan paginya mereka membawa sesaji yang akan dibawa ke balai desa tempat berlangsungnya upacara. Setiap sesaji memiliki makna dan tujuan tertentu seperti Nasi Liwet untuk menghormati kelestarian ruma, Jenang Merah untuk menghormati Baginda Ambyah, Jenang Baro-baro untuk menghormati wahyu yang lahir.

Lalu ada Tumpeng Sampur yang melambangkan bahwa setelah menerima wahyu akan sempurna dan lestari. Sebelum acara upacara dimulai pemimpin upacara membacakan satu persatu nama sesaji, kemudian mengikrarkan ujub yang dipimpin oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran kemenyan dan mengucapkan mantra suci dan doa selamat

Tradisi ketiga yakni Rasulan atau bersih desa. Dilakukan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kelancaran dalam mencari rezeki dan hasil panen berikutnya lebih melimpah. Rasulan ini diadakan pada musim kemarau atau musim panen kedua. Tradisi ini juga merupakan  ucapan rasa syukur terhadap Tuhan atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan, untuk menghormati Dewi Sri atau Dewi Padi Dhanyang atau roh-roh halus penunggu tempat-tempat keramat.

Konon dalam kepercayaan masyarakat Jawa setiap dusun di Gunungkidul memiliki tempat khusus yang diyakini sebagai tempat persemayaman Dhanyang. Untuk itu  warga dusun membuat tumpengan dan sesaji untuk dipersembahkan kepada Dhanyang sebagai tolak bala.

Masyarakat meyakini bahwa rasulan ini merupakan hari raya ketiga setelah hari raya idul fitri dan idul adha. Biasanya diawal kegiatan masyarakat membersihkan lingkungan dusun yang biasa disebut dengan merti deso atau bersih dusun. Seiring perkembangannya tradisi rasulan semakin marak dengan berbagai kegiatan olahraga dan pertunjukan seni budaya.

Pertunjukan seni budaya biasanya dilakukan pada malam hari, yang dipertunjukkan misalnya kethoprak, wayang kulit, campur sari atau tayabun. Pada puncak acara akan ditampilkan seni reog, jathilan dan kirab mengelilingi dusun. Kirab tersebut terdiri dari pasukan Bergadha, ogoh-ogoh, tumpeng dan lain sebagainya. Rasulan sendiri merupakan bentun wujud syukur kepada Tuhan, silaturahmi kepada sesama dan shodaqoh.

Dapat dicermati tiga tradisi tersebut tujuan dan maknanya hampir sama. Itu merupakan sebuah perwujudan dari sila Pancasila dari sila pertama hingga sila kelima. Dimana maknanya adalah bentuk ucapan syukur terhadap penguasa alam dan meskipun mereka masih mempercayai roh leluhur tetapi mereka tetap mempercayai keberadaan Tuhan sesuai dengan sila pertama.

Mereka tetap menjaga kelestarian alam serta tidak merusaknya sesuai dengan sila kedua. Diajarkan juga untuk membantu sesama, memberi keadilan terhadap semua kasta masyarakat sesuai dengan sila ketiga. Tetap mengedepankan musyawarah bersama seluruh warga desa setempat sesuai dengan sila keempat. Dan menyatukan Indonesia yang merupakan bangsa yang majemuk. Serta mengapresiasi sebuah karya, yakni bentuk kreativitas yang dihasilkan dalam kirab budaya sesuai dengan sila kelima. Perbedaan dan keanekaragaman budaya tidak boleh menghancurkan bangsa ini, justru itu menjadi sebuah tolak ukur untuk menjadi alat pemersatu bangsa.

Tradisi yang kita miliki di setiap daerah harus senantiasa dilestarikan, agar kelak tidak punah dan anak cucu kita masih bisa melihatnya. Jangan sampai kita menganggap bahwa tradisi-tradisi itu menyeleweng dari Pancasila. Karena memang beberapa daerah masih memiliki kepercayaan terhadap roh halus dan leluhur di daerahnya.

Nah, gimana teman-teman apakah kalian tertarik dengan cerita-ceritaku diatas? Kalau kalian penasaran bisa search di google atau di youtube untuk menambah pengetahuan kalian tentang tradisi di Gunungkidul ya. Tidak ada salahnya jika ingin menambah wawasan bukan? Terimakasih karena sudah mau membaca tulisanku diatas, semoga bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun