Lain halnya dengan mereka yang menjadi pelaku, bisa saja mereka merasa bahwa setiap orang boleh diperlakukan dengan tidak baik, sehingga tindakan bully pun dilakukannya kepada orang-orang yang terlihat lebih lemah dari mereka.
Pola didikan 'rotan' yang dianggap terbaik itu pun malah menjadi bumerang bagi para orang tua dan anak-anak mereka.
Sebagai orang tua dan manusia biasa, memiliki amarah itu wajar, sekali waktu kelepasan untuk membentak dan memarahi anak-anak mereka pun wajar, tetapi dengan adanya kesadaran diri akan ilmu yang menyatakan bahwa kebutuhan anak adalah mendapatkan tindakan konsisten, bukan kemarahan membabi-buta yang menyebabkan anak-anak pada akhirnya tersakiti, maka tentu terciptalah pengendalian diri.
Anak-anak dititipkan oleh Tuhan dalam hidup kita bukan untuk disakiti. Jangan menyalahgunakan kepercayaan Tuhan karena masih banyak pasangan di luar sana yang mungkin lebih siap menjadi orang tua lahir maupun batin, namun tidak dikaruniai keturunan. Sedangkan mereka yang sudah dianugerahi, malah menyia-nyiakannya.
Orang tua mengajarkan anak-anak mereka untuk mensyukuri nikmat Tuhan, tetapi mengapa tidak mampu memberi contoh nyata dengan cara bersyukur telah dikaruniai anak-anak dalam kehidupan mereka? Dimana itu berarti mereka memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya, bukan mendidik secara asal-asalan dengan memberi contoh nyata keburukan-keburukan melalui perlakuan mereka sendiri.
Jadi jika ingin menjadikan anak lebih patuh dan memiliki masa depan yang cerah, maka didiklah mereka dengan cara yang baik. Karena baik atau buruknya seorang anak, adalah cerminan dari orang tuanya masing-masing.