Mohon tunggu...
Annisa Puspa Pramudya
Annisa Puspa Pramudya Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis Muda

Berkaryalah hingga kau habis dimakan senja

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Ride Hailing: Lead to Equality or Inequality

5 Desember 2019   21:55 Diperbarui: 5 Desember 2019   21:54 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada era digital ini, dengan bantuan teknologi yang semakin canggih, pekerjaan semakin terasa mudah. Hanya dengan menggunakan segenggam ponsel pintar, kita dapat pergi kemanapun, memesan makanan, mengantarkan barang yang tertinggal, membersihkan rumah, dan melakukan pijat untuk badan yang lelah.

Ojek online telah merebut hati masyarakat sebab dapat memenuhi keinginan masyarakat modern, yaitu kemudahan dan kecepatan. Ojek online ini telah membuka cukup banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat, namun disisi lain ojek online ini juga akan membuat pekerja berada di zona nyaman mereka. Jadi, apakah manfaat yang dihasilkan ojek online tersebut membawa dampak yang baik bagi ketidaksetaraan yang telah terjadi atau malah sebaliknya?


Pencipta lapangan pekerjaan bagi pekerja dengan skill rendah


Dapat kita lihat di zaman sekarang ini, ojek online  telah membuka cukup banyak lapangan pekerjaan di sektor informal. Sebagai contoh, setiap harinya ada lebih dari 3 juta order yang terjadi di Gojek yang dilayani oleh lebih dari 2 juta driver, juga Grab memiliki 2 juta mitra pengemudi yang setiap harinya melayani 3,5 juta perjalanan.


Lapangan pekerjaan yang ditawarkan ini tidaklah memerlukan keahlian yang tinggi, sehingga hal ini akan membantu pekerja-pekerja dengan skill rendah. Pekerja dengan skill rendah adalah pekerja yang sulit untuk mendapat pekerjaan sektor formal karena mereka hanya lulusan SD hingga SMP.
Dapat dikatakan bahwa start-up ojek online ini telah memberi kesempatan bagi masyarakat kelas bawah untuk mendapat penghidupan. Dilansir dari Tempo, Menurut Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Titik Handayani, kegiatan ekonomi berbasis digital ini telah membantu penurunan pengangguran terutama di kota-kota besar.


Menurut realisasi RPJM  (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2014-2019, pengangguran terbuka turun dari 5,94% pada tahun 2014 menjadi 5,34% pada tahun 2018 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah).


Perluasan jangkauan UKM


Meskipun UKM merupakan salah satu sektor yang digalangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan perekonomian, namun masalahnya adalah ada banyak UKM yang kurang dikenal masyarakat dikarenakan jumlah UKM yang sangat banyak. Tetapi Titik Handayani dari LIPI berpendapat bahwa banyak sekali mata rantai seperti industri makanan yang sebelumnya tidak dikenal menjadi dikenal oleh masyarakat karena bekerja sama dengan ojek online (Tempo).


Dengan adanya ojek online ini jangkauan dari UKM ini akan meningkat cukup pesat karena akan ada banyak orang yang tahu melalui ojek online ini dan akan ada semakin banyak pembeli. Jika kita lihat dari sini, hal ini akan meningkatkan pendapatan dari UKM tersebut.


Ketidaksetaraan yang ditimbulkan

Setelah tadi kita melihat bahwa ojek online ini dapat mensejahterakan kalangan marjinal, sekarang kita akan melihat apakah ojek online dapat membawa kesetaraan? Apakah ada hal lain yang tidak disadari yang malah berdampak sebaliknya yaitu malah membuat ketidaksetaraan antara si miskin dengan si kaya semakin pekat terlihat?

Pertama-tama mungkin kita sering berpikir bahwa saat ini ojek online masih "membakar uang" dalam arti belum mendapatkan keuntungan melainkan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk promosi. Ternyata selama ini perusahaan ojek online sudah mendapat keuntungan yang cukup besar. Sampai saat ini Gojek sudah menghasilkan US$2 milliar (CNN).


Dari sini kita dapat melihat bahwa perusahaan dan pemilik ojek online ini akan semakin kaya, sehingga berpotensi memperdalam ketimpangan antara penduduk kelas bawah dengan penduduk kelas atas. Sedangkan, pengemudi ojek online hanya akan mendapatkan Rp.2000 per kilometer dan mereka juga akan mendapat penghasilan dari poin yang didapat. mereka mendapatkan poin tersebut dari setiap perjalanan yang mereka ambil.


Tarif perjalanan itu juga masih harus dibagi hasil dengan perusahaan ojek online tersebut sebanyak 20%. Jika kita bandingkan penghasilan yang dihasilkan oleh pengendara ojek online ini sangatlah tidak sepadan dengan pendapatan yang didapat oleh perusahaan ojek online itu sendiri.
Memang benar bahwa ojek online ini telah membuat banyak sekali lapangan pekerjaan yang hanya membutuhkan skill yang rendah. Selama kita bisa mengendarai kendaraan bermotor dan memenuhi persyaratan administrasi, kita sudah dapat bekerja dan menghasilkan pendapatan.


Tetapi jika kita lihat lebih jauh lagi, apakah pernah terpikir oleh anda bahwa mereka dapat terjebak ke dalam pendapatan yang tidak akan berubah, malahan pendapatan riilnya akan semakin kecil seiring dengan waktu? Mereka mungkin berpikir bahwa mereka sudah sangat beruntung mendapat pekerjaan dan akan menetap dengan pekerjaannya yang sekarang dengan pikiran bahwa pekerjaan ini sudah cukup untuk pekerja yang kurang berkemampuan.


Dengan pemikiran ini mereka akan terjebak didalam lingkaran kemiskinan tanpa mau berinovasi, ditambah lagi pekerjaan sebagai driver tidak memiliki potensi untuk dipromosikan ke jenjang karir yang lebih tinggi, seperti posisi manajemen. Lalu dilansir dari New York Times, ternyata Uber mengeksploitasi psikologi para pengemudi ojek online untuk dapat bekerja lebih lama.
Seperti halnya Netflix yang langsung memutar film selanjutnya agar kita tidak berhenti menonton, trik ini juga dipakai oleh Uber dalam membuat keinginan untuk bekerja para pengendara ojek onlinenya.

Untuk mengurangi waktu yang diperlukan pelanggan untuk menunggu dalam waktu penjemputan, maka Uber menambah jumlah pengendara ojek sehingga ojek online ini akan memperluas area jangkauan. Namun, hal ini akan menyebabkan akan ada banyak pengendara ojek online yang tidak produktif. Disini Uber memakai psikologi para pengemudi agar tetap bekerja,  dengan cara memberitahu secara otomatis tentang orderan yang akan didapatkan jika dia terus melanjutkan pekerjaannya. Hal yang dilakukan tiap ojek online ini mengiming-imingi para pengendara ojek online bekerja lebih lama lagi, sehingga menjebak mereka di zona nyaman dan penghasilan yang stagnan.


Selain permasalahan zona nyaman yang membuat para pengendara ojek online susah maju, pekerjaan ojek online ini juga termasuk kedalam sektor informal. 

Sektor informal adalah sektor yang digunakan oleh orang orang yang berkemampuan rendah dan tidak dapat bersaing di sektor formal.

Salah satu kelemahan dari sektor informal ini adalah pemerintah sulit untuk melindungi hak hak para pekerja, terlebih lagi bagi para pengendara yang bekerja ojek online ini. Dengan hak yang lebih besar dipegang oleh perusahaan, ia dapat menurunkan kesejahteraan pekerja demi mendapat keuntungan yang lebih banyak.


Sebagai contoh, ketika pemerintah mencoba untuk meningkatkan kesejahteraan para ojek online dengan cara menaikan tarif ojek online, namun apakah benar kesejahteraan para driver ojek online ini meningkat? Jawabannya tidak, bahkan justru pendapatan driver ojek online menurun sebanyak 40% karena beberapa hal seperti turunnya tarif dasar untuk perjalanan dibawah 4 KM, menurunnya jumlah pelanggan yang diakibatkan oleh harga yang cukup mahal, dan pengurangan bonus yang akan didapat dengan alasan untuk keberlangsungan ekosistem Gojek. Keberlangsungan ekosistem yang dimaksudkan disini adalah dengan tarif yang meningkat, maka pendapatan pokok driver juga akan meningkat maka bonus tambahan harus diturunkan (Blog Ojek Online).


Bonus ini turun hingga 50% (Kawanua Inside). Dari sini kita dapat lihat bahwa saat pemerintah meregulasi, dampak regulasi itu tidaklah sesuai dengan ekspektasi pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan driver, bahkan yang terjadi malah sebaliknya yaitu kesejahteraan driver yang semakin menurun karena perusahaan ojek online dapat memberlakukan peraturan sesuai dengan keinginan mereka.


Pertentangan ride hailing menciptakan inequality


Dikutip dari Vice, Clewlow mencatatkan dimakalah yang diterbitkannya bahwa, masyarakat yang memakai layanan ojek online ini adalah orang orang yang berpendidikan dan memliki pedapatan yang tinggi.
Padahal seharusnya merekalah yang membayar tarif dengan tarif penuh tidak seperti tarif yang ditawarkan oleh ojek online ini. Tetapi dilansir dari paper Hahn, Robert dan Robert Metcalfe, layanan yang sebagian besar dipakai oleh masyarakat yang berpendidikan tinggi dan berpendapatan tinggi itu wajar saja karena ini merupakan proses penyebarluasan tentang teknologi tersebut. 

Jadi pada akhirnya mereka yang berada dikelas bawah dan berpendidikan rendah juga akan mendapatkan manfaat dari teknologi tersebut. Sehingga hal ini akan membuat suatu kesetaraan dalam hal pengetahuan akan teknologi karena adanya pengenalan akan teknologi ini.  


Refleksi

Dapat kita lihat bahwa ojek online ini merupakan pedang bermata dua yang dapat menurunkan tingkat ketidaksetaraan dalam perekonomian, tetapi tanpa disadari ojek online ini juga malah dapat meningkatkan ketidaksetaraan yang terjadi. 

Seringkali kita hanya melihat dampak positif yang ada tanpa menyadari bahwa hal ini dapat memutar balik ekspektasi kita. 

Tetapi dengan ini diharapkan kita lebih peduli dan juga kritis terhadap kejadian yang sedang terjadi sekarang ini, karena dengan adanya pengawasan yang cukup, ojek online ini akan sangat bermanfaat bagi perekonomian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun