Mohon tunggu...
Politik

Mobilisasi Massa Reuni Alumni 212 Berpotensi Mempertajam Konflik Sosial di Tengah Masyarakat

23 November 2017   12:02 Diperbarui: 23 November 2017   14:48 4129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

dokpri
dokpri
Setelah setahun berlalu, dikabarkan ribuan orang dari organisasi masyarakat (ormas) Islam akan menggelar acara Reuni Akbar Alumni 212 di lapangan silang Monumen Nasional (Monas), Sabtu, 2 Desember 2017. Kita ingat, setahun sebelumnya mereka berunjuk rasa untuk menuntut Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditahan karena diduga melakukan penistaan agama.

Mereka menyebutkan bahwa selain memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, acara Reuni Alumni 212 itu juga untuk memperkuat tali mempersatuan umat Islam di Indonesia. Adapun kegiatan yang akan dilaksanakan yakni subuh berjamaah, dzikir, tausiah, konsolidasi, dan doa untuk negeri.

Seperti yang sudah dipahami awam, acara itu pun tak murni sebagai sebuah pengajian belaka, melainkan juga tak lepas dari kepentingan politis. Meskipun 'jagoan' mereka sudah menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, juga musuh politik sudah dipenjara, para penggagas aksi 212 ini berusaha menjaga ritme agar tak ditinggalkan oleh massanya. Untuk itu, upaya konsolidasi dengan dalih acara agama terus dilakukan.

Sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, penyelenggaraan acara reuni alumni 212 ini tak jelas apa yang menjadi juntrungannya. Seharusnya, bila itu memang murni acara keagamaan sebaiknya diselenggarakan di tempat ibadah dan tak perlu ada mobilisasi massa di jalanan. Sehingga dengan demikian tak mengganggu ketertiban publik.

dokpri
dokpri
Mobilisasi massa seperti di atas justru bisa menimbulkan dampak negatif di masyarakat. Karena dapat mempertajam konflik sosial yang sudah menganga karena kontestasi politik di Pilkada DKI Jakarta kemarin.  Apalagi ini diteruskan hingga menjelang 'tahun politik 2018-2019'.

Sebagaimana kita tahu, politik identitas berdasarkan sentimen SARA masih menjadi pilihan sebagian pihak untuk memenangkan kepentingan politiknya di Indonesia. Hal itu dilakukan tanpa mempedulikan dampak buruknya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Kasus Pilkada DKI Jakarta kemarin adalah contohnya.

Untuk itu, agar tak terulang kembali dan tidak kita wariskan pada anak cucu, sebaiknya kita mulai mawas diri. Kita harus lebih bijak menanggapi upaya mobilisasi massa berdasarkan sentimen SARA, karena bagaimanapun seperti itu selalu ada kepentingan politik di belakangnya.

Kita pun bersyukur karena sebenarnya telah berhasil melewati titik kritis terkait segregasi masyarakat atas sentimen SARA pada tahun kemarin. Kita tak perlu lagi mengulangi pengkotak-kotakan masyarakat berdasar isu SARA lagi. Untuk itu, ke depan kita perlu rajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa, serta kedamaian hidup dalam kebhinekaan di Indonesia kita tercinta ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun