Mohon tunggu...
Annisaa Ganesha
Annisaa Ganesha Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kumpulan Mahasiswi Ideologis

Berdakwah dengan pena digital

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polemik RKUHP Vs Kesederhanaan Hukum Islam

30 Oktober 2019   14:55 Diperbarui: 30 Oktober 2019   15:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RKUHP (Revisi Kitab Undang-Undang Pidana) dan pengesahan UU KPK yang belakangan ini memenuhi laman berbagai media memang sangat menarik perhatian. Dalam sebuah diskusi yang disiarkan oleh Kompas TV dikatakan bahwa di masa akhir pemerintahan Jokowi ini seolah-olah ada anggapan bahwa pengesahan UU harus dilakukan sekarang atau tidak sama sekali. Skenario yang terburu-buru dimana semua UU dikejar pengesahannya di masa injury time.

Dikatakan bahwa semangat RKUHP adalah untuk membuat sebuah Kitab Undang-Undang Pidana yang lebih bersifat nasionalistik, mengingat KUHP yang diadopsi oleh Indonesia saat ini tidak lain merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda. Mengingat banyaknya pasal yang menjadi polemik dalam RKUHP ini, dalam tulisan ini akan disorot pasal terkait penghinaan Presiden dan Lembaga Negara. Pasal yang dulu dibuat untuk menjaga simbol pemerintahan kolonial yang kemudian dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi, kini kembali dihidupkan dalam RKUHP.

Pasal ini tentu saja dianggap sebagai langkah mundur atas hak warga negara untuk menyampaikan pendapat, juga mengancam kebebasan Pers. Sebelum RKUHP ini disahkan saja, dalam empat tahun pemerintahan Jokowi terdapat 82 kasus pidana yang berhubungan dengan penghinaan terhadap presiden. 

Pada akhirnya, pasal ini digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol politik sesuai yang diinginkan oleh penguasa. Walaupun pihak pemerintah melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa kritik terhadap kebijakan presiden tidak sama dengan menghina presiden, tidak ada yang dapat menjamin ia tidak akan menjadi pasal karet, karena kritik dan menghina akan tergantung pada tafsir subjektif dari penyidik.

Ketika kita mengikuti bagaimana proses pembuatan RKUHP, kita diajak untuk menyelami betapa kompleks dan mahalnya suatu proses pembuatan hukum. Entah itu mulai dari pembuatan daftar inventaris masalah, pengumpulan pendapat para ahli, perhatian pada masukan dari masyarakat, sosialisasi kepada elemen-elemen masyarakat, hingga akhirnya akan disahkan pun masih menyisakan banyak sekali kontroversi. Pada akhirnya kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak akan mungkin lahir sebuah produk hukum yang akan memuaskan semua pihak.

Hal ini tentu saja berbeda dengan paradigma hukum Islam. Dalam Islam hak untuk menetapkan hukum hanya ada pada Allah subhanahu wa ta'ala.

"...Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah ..." (QS. Yusuf [12]: 67)

Hukum tidaklah dibuat untuk mengakomodir kepentingan pihak-pihak tertentu, tetapi ia ditentukan oleh Allah semata. Tidak sebagaimana manusia yang senantiasa akan terjebak pada konflik kepentingan, Allah ta'ala menetapkan hukum yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia.

Kejahatan dalam pandangan Islam adalah perbuatan yang dicela oleh Syari' (Allah). Syara' telah menetapkan bahwa perbuatan tercela adalah dosa yang harus dikenai sanksi. Perbuatan tercela yang dimaksud adalah setiap penyimpangan dari apa saja yang telah Allah perintahkan dan apa yang Allah larang. Syariat Islam menjelaskan bahwa bagi para pelanggar akan dikenai sanksi di akhirat dan di dunia.

Pelaksanaan sanksi di dunia dilakukan oleh negara. Keberadaan negara adalah untuk menjalan kan fungsi menegakkan hukum Allah di dunia. Aparatur negara juga adalah hamba Allah yang tidak kebal atas hukum. Mereka sama sebagaimana masyarakat yang juga adalah hamba Allah yang terikat taklif (beban hukum) di pundak mereka. Maka kewajiban seorang mukallaf (orang yang terkena taklif) untuk mengetahui hukum yang mengikat mereka.

Oleh karenanya, dalam Islam pengetahuan tentang hukum tidaklah secara eksklusif hanya dimiliki oleh aparatur penegak hukum saja, tetapi dipahami oleh masyarakat secara umum. Dengan demikian, ketika terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penegakkan hukum oleh aparatur negara, masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan koreksi. Hal semacam ini mudah kita temukan dalam literatur sejarah Islam, misalnya saja bagaimana seorang sahabiyah yang berani mengoreksi Umar bin Khattab ra yang pada saat itu adalah seorang kepala negara terkait permasalahan pembatasan jumlah mahar.

Kita pun belajar dari kisah ketika Jariyah bin Qudama as-Sa'adi datang mengunjungi Mu'awiyah bin Abu Sufyan ra yang saat itu menjabat sebagai Khalifah lalu menghardiknya dengan sangat keras. Jariyah saat itu mengatakan, "Engkau yang harus diam wahai Mu'awiyah (Jariyah tidak memanggilnya dengan gelar kehormatan "Amirul Mukminin") karena aku punya seorang ibu yang memberiku pedang yang pernah kupakai menghadapimu. Kemudian kami pernah memberikan bai'at kami kepadamu, untuk mendengar dan mematuhimu selama engkau memerintah kami berdasarkan firman Allah. Jadi, bila engkau penuhi janjimu, ingatlah bahwa di belakang kami, berdiri para kesatria bersenjata, yang tidak akan tinggal diam melihat penyimpanganmu."

Andai Jariyah ra hidup pada masa ini, apa yang dilakukannya mungkin akan dijatuhi pasal penghinaan pada presiden dan tindakan makar. Namun, apa yang dilakukan oleh Mu'awiyah mendengar ancaman yang disampaikan oleh Jariyah? Ia berkata, "Semoga Allah membekali kami dengan apa yang engkau harapkan!"

Lagi-lagi tanpa takut Jariyah menjawab: "Engkau (tanpa memanggil gelar Amirul Mukminin) katakan sesuatu dengan baik dan sopan, karena tempat untuk penguasa yang buruk adalah di neraka." Jariyah kemudian berlalu dengan menahan kemarahannya tanpa meminta izin untuk pergi dari Mu'awiyah.

Peristiwa tersebut disaksikan oleh utusan Romawi yang menghadap Mu'awiyah. Mereka pun keheranan dengan apa yang dilakukan oleh Jariyah. Dalam tradisi Romawi, orang-orang yang serupa dengan Jariyah akan dicincang atau dibakar karena telah lancang terhadap penguasa. Namun, Mu'awiyah justru berkata kepada mereka, "Aku memerintah orang-orang yang tak kenal rasa takut dalam menegakkan kebenaran, dan semua rakyatku memiliki sifat seperti orang Arab gurun tadi. 

Tidak satu pun di antara mereka yang lemah dalam menegakkan kalimat Allah, tidak ada di antara mereka yang diam melihat ketidakadilan, dan aku pun tidak berada di atas mereka, selain dalam masalah keimanan. Aku telah berkata-kata kasar pada orang tadi dan ia pun berhak menjawab. Aku yang memulai dan aku pula yang layak disalahkan, bukan dia."

Dalam Islam, penetapan hukum tidaklah melewati proses sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Hukum ditetapkan dari sebuah proses yang bernama ijtihad. Ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki kepakaran dalam hukum Islam. Namun, sumber hukum baku yang dimiliki oleh Islam, baik itu merupakan Alquran, hadis, ijma (kesepakatan) sahabat, maupun qiyas dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Ia tidak berubah dan diajarkan dalam sistem pendidikan yang diterapkan oleh negara. 

Oleh karenanya, ketika hukum Islam yang diterapkan di dalam negara, akan terwujud keadilan dengan ongkos yang sangat murah tanpa melewati sebuah proses yang berujung pada terciptanya polemik baru. Lalu atas alasan apalagi kita masih menolak hukum Islam? // ay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun