Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Mariyati, Lima Dekade Berbagi Kasih

28 Desember 2020   06:00 Diperbarui: 29 April 2021   05:41 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiri: Ibu Mariyati memimpin rapat virtual, 15 Nov 2020. Kanan: siswa-siswi SD Sejahtera III di depan sekolah, 1972 (dokpri)

SD Sejahtera III adalah sekolah dasar swasta pertama di desa Sindangsari, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Sekolah ini didirikan oleh pasutri Yohanes Baptista Sularto (Sularto) dan Alfonsa Mariyati (Mariyati) pada tahun 1970.

Sebuah kecelakaan lalu lintas merenggut nyawa Sularto pada tahun 1992. Tiga tahun kemudian, penyakit demam berdarah membawa Oktamilasari, anak bungsunya, menyusul sang ayah.

Kepergian suami dan anak dalam rentang 3 tahun tentu membawa rasa kehilangan yang dalam bagi Mariyati. Namun Mariyati berjanji pada diri sendiri bahwa ia harus tegar. Ada 5 anak dan puluhan murid SD Sejahtera III yang perlu dijaga kelangsungan pendidikannya.

"Saat suami saya wafat, Herrys, anak pertama, masih semester 5 di Fakultas Pertanian Unila," Mariyati berkisah. "Ferry, anak kedua, baru masuk Seminari Tinggi di Bandung. Adik-adiknya masih SD, SMP dan SMA. Saya harus berjuang agar semua anak bisa sekolah dan SD Sejahtera III bisa tetap hidup."

Kini, dalam usia 76 tahun, dengan segala keterbatasan yang ada, Mariyati masih setia berbagi kasih lewat pengabdian di SD Sejahtera III yang telah dilakoninya selama lima dekade.

Semangat Berbagi dari Sepasang Pengantin Baru

Mariyati berasal dari Wates, Kulonprogo, Yogyakarta. Saat berusia 20 tahun, ia merantau ke Palembang. Ia mengajar di SD Xaverius Putri pada tahun 1964 - 1966. Setelah itu, ia pindah ke SD Xaverius Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di sana Mariyati bertemu dengan belahan jiwanya, Sularto, seorang rekan guru asal Sleman.

Setelah menikah pada tahun 1969, pasutri muda ini memutuskan untuk membangun hidup baru di desa Sindangsari yang dikelilingi kawasan perkebunan karet  PTPN VII Unit Usaha Kedaton yang sangat luas. Kini sebagian perkebunan karet itu dijadikan Kawasan Industri Lampung.

Di desa ini mereka menemukan banyak anak tidak bersekolah karena memang belum ada  sekolah. Orang tua dari anak-anak itu adalah buruh perkebunan karet, petani, atau  pedagang. Ketika para orang tua bekerja, mereka membawa serta anak-anak. Tak jarang anak-anak itu ikut membantu pekerjaan orang tua.

Sularto dan Mariyati prihatin melihat kondisi ini. Bagaimana masa depan anak-anak itu jika mereka tidak bersekolah? Bukankah mereka perlu belajar? Tetapi ke mana mereka dapat bersekolah?  Tersentuh oleh situasi itu, Sularto dan  Mariyati terpanggil untuk  berbuat sesuatu.

Setelah melalui proses pendekatan yang  panjang dengan para orang tua dan  mendapat dukungan dari para tokoh  masyarakat, mereka mulai mengumpulkan anak-anak untuk  diajari membaca, menulis dan  berhitung. Proses belajar mengajar dilakukan di rumah seorang tokoh  masyarakat yang  baik hati.

"Awalnya terkumpul sekitar 60 anak usia 9-10 tahun," Mariyati mengenang. "Saya meminta meja dan kursi bekas dari sekolah Xaverius dan dari suster-suster Hati Kudus. 60 anak itu semuanya mulai dari kelas 1. Selama 3 tahun pertama, saya mengajar sendiri. Kelas 1 masuk jam 7.30-9.30. Kelas 2 masuk jam 10.00-12.00. Kelas 3 masuk siang. Tahun ketiga, mulai ada guru lain yang membantu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun