Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jika 01 Menang, Politik akan Hambar

11 April 2019   14:00 Diperbarui: 11 April 2019   14:54 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: koran-jakarta.com

Sepertinya seluruh rakyat Indonesia sudah tidak sabar menunggu tanggal 17 April 2019. Bagaimana tidak, setelah tanggal tersebut masyarakat ingin tau siapakah presiden selanjutnya, apakah masih tetap Joko Widodo atau berganti Prabowo Subianto. Suhu politik telah lama naik semenjak pilpres 2014, maka wajarlah jika pemilu kali ini ditunggu bak lanjutan sinetron bersambung, akankah suhu mendingin,tetap atau semakin memanas.

Bicara mengenai siapakah presiden setelah tanggal 17, maka tidak salah jika berpatokan kepada analisis teknis seperti hasil survey dan keberadaan petahana.Hasil survey banyak mengunggulkan kubu Jokowi-Ma'ruf yang lebih berpeluang daripada Probowo-Sandiaga, selain itu fakta bahwa Jokowi adalah petahana semakin menggenapkan peluang o1 untuk menang dipilpres 2019.

Taruhlah benar adanya jika kubu 01 adalah pemenang dari pilpres kali ini, maka konstalasi politik sepertinya tidak akan berubah, karena 01 tetap menjalankan koalisi pemerintahan, sedangkan 02 tetap menjadi oposisi pemerintah. Ketika pemerintahan kubu koalisi menjalankan roda negara untuk 5 tahun kedepan, sepertinya tidak ada beda dengan 5 tahun kebelakang. Pos-pos pemerintahan dan BUMN akan diisi oleh para kompatriot dan relawan 01 seperti yang sudah-sudah, partai-partai pendukungnya akan tunduk pada 01, pembangunan akan terus dikejar, penegakan hukum pun tidak akan mengendor. Begitupun dengan janji-janji kampanye 01, mungkin akan menjadi hambar sebagaimana hambarnya janji-janji saat kampanye 2014.

Begitupun dengan prilaku lawan politiknya, sepertinya sifat kubu 02 masih tidak akan beda dengan 5 tahun kebelakang. Sebagaimana oposisi, pasti terus mengorek kelemahan-kelemahan pemerintah dengan dalih yang itu-itu juga. Narasi komunis versus khilafah pun diyakini tak kan hilang, tokoh-tokoh antagonis dan protagonis dipastikan masih aktor-aktor lama. Maka jangan heran jika o1 yang menang, maka tontonan politik 5 tahun ke depan akan monoton seperti 5 tahun ke belakang.

Drama politik mungkin akan sedikit menggigit, jika beberapa parpol dari 02 atau para tokoh-tokohnya berbalik merapat pada 01. Sebutlah AHY beserta Demokratnya yang mungkin akan bermain dua kaki atau bisa saja Sandiaga yang akan mencoba peruntungan di 01. Lain halnya pada tokoh-tokoh bunglon yang sudah nyaman di samping Jokowi, meraka akan berat untuk loncat bersama Prabowo, jika itu terjadi maka akan menjadi kejutan dalam khazanah perpolitikan.

Berbeda jika 02 yang menang, sepertinya episode politik akan lebih greget. Bisa dibayangkan bagaimana serunya saat para lakon-lakon politik berganti peran dari yang tadinya protagonis menjadi antagonis, begitupun sebaliknya. Dan akan semakin seru saat mungkin terjadi bedol partai dari kubu 01 ke 02, sebagaimana pernah terjadi di 2014. Mungkin hanya PDIP dan Hanura saja yang akan tetap mendukung Jokowi jika 01 kalah, partai-partai oportunis semisal Golkar atau Perindo haqul yakin akan menyebrang. Lalu akan ada bonus keseruan saat rakyat menyaksikan para bunglon akan melakukan puja-puji pada Prabowo dkk, dan mereka akan tanpa malu berbusa menyebutkan beribu alasan mendukung pemerintah. Sungguh akan sangat ditunggu akting para aktor watak macam Ngabalin dan Ruhut Sitompul jika 02 menang. Niscaya suatu keseruan yang layak ditunggu, itupun jika 02 yang menang, jika tidak menang mereka akan tenang bersama 01. 

Semua hal-hal di politik tidak ada yang tidak mungkin, selama membawa keuntungan bagi dua belah pihak. Yang paling baik adalah siapapun yang menang dan kalah tidak memancing di air keruh, karena pilpres bukan perlombaan menentukan pemenang atau pecundang, tetapi sebuah proses pendewasaan suatu bangsa. Tidak haruslah NKRI seperti Amerika yang demokrasinya menjadi dewasa setelah 200 tahun lebih dan melewati civil war. Cukuplah bangsa ini melek demokrasi sedari masa reformasi dengan tanpa melewati secuil pun kekerasan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun