Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sentuhan Pemimpin Perempuan

31 Desember 2012   03:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:46 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13569243341257297546

(Renungan Hari Ibu 2012)

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Betapa susahnya menjadi pemimpin perempuan dalam kuasa sistem patriarkhi seperti Indonesia. Citra pemimpin perempuan senantiasa dinilai dengan bawaan lahirnya sebagai perempuan. Publik Indonesia masih enggan menilai pemimpin perempuan murni dari perspektif kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pemimpin tanpa atribut keperempuanannya. Persepsi publik terhadap citra Megawati, sedikit banyak dipengaruhi faktor-faktor di luar dirinya; seperti citra Bung Karno. Yenny Wahid tidak bisa dipandang publik lepas dari figur ayahnya, Gus Dur. Begitu juga dengan Meuttia Hatta, citra Bung Hatta melekat dalam setiap lakuan tindaknya.

Berkaca pada fenomena di atas, maka pembenahan pencitraan terhadap pemimpin perempuan urgen untuk dilakukan. Tujuannya, agar pemimpin perempuan dapat segera lepas dari bayang-bayang pencitraan laki-laki. Salah satu piranti yang dapat digunakan untuk pembenahan tersebut adalah media massa.

Media telah berhasil menunjukkan supremasinya dan menjangkiti anatomi sosial masyarakat. Demokrasi, liberalisasi, maupun kesetaraan gender menjadi menu sehari-hari, sehingga publik makin cerdas membangun perspektif. Media bisa menjadi cermin pembelajaran dalam membangun pencitraan pemimpin perempuan. Sebaliknya, media juga bisa melemahkan pencitraan pemimpin perempuan. Ada dictum yang mengatakan media menciptakan, tetapi bisa juga menghancurkan citra.

Harapan menjadikan media sebagai piranti pembenahan berhadapan dengan kondisi bahwa akses pencitraan pemimpin perempuan di media bergantung pada kemapanan sistem budaya patriarkhi. Padahal, pembenahan citra pemimpin perempuan ke ruang publik berarti mempercepat perluasan partisipasi politik yang lebih berkualitas. Semakin terbukanya ruang publik menjadi tanggung jawab media karena partisipasi yang berkualitas dilandaskan pada kelapangan dada menerima keberagaman. Namun, aspirasi semacam ini harus berbenturan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi yang pragmatis.

Perspektif Ekonomi Media

Perspektif ekonomi menjadi perspektif tunggal yang dominan, menggusur perspektif agama, sosio-kultur, bahkan kebangsaan. Masyarakat menilai dirinya sendiri juga dari perspektif ekonomi, sehingga menempatkan asas kebermanfaatan sebagai nilai tertinggi. Perspektif ekonomi yang materialisme dalam akselerasinya menuntut kreatifitas dan inovasi. Tuntutan ini menciptakan sistematika pola yang tidak labil. Mobilitas manusia dalam perspektif ini bergerak menyesuaikan diri dengan standar perubahan terus-menerus, dari trend ke trend.

Masyarakat yang nyaman dalam orientasi ekonomi adalah masyarakat yang bertahan hidup dalam pola hubungan kompetitif. Masyarakat kompetitor seperti ini bertarung tanpa jeda dan memarjinalkan norma hukum maupun agama. Iklim arena seperti ini mempengaruhi perkembangan media dan progresivitas perempuan dalam membangun citra kepemimpinan yang positif dan alternatif. Tekanan-tekanan dalam persaingan mengabaikan prinsip etika komunikasi. Sekali waktu, etika utilitarian masih mampu untuk meramu celah etika. Kesempatan akan dibuka dengan prioritas untuk mereka yang memberi manfaat atau kegunaan (menguntungkan bagi media). Secara sederhana, ulasan tentang pempimpin perempuan atau wacana-wacana penunjang akan mendapat kolom atau jam tayang dengan rating tinggi apabila secara nyata mengundang ketertarikan publik (yang berakhir dengan oplah, iklan, dan rating).

Dewasa ini, iklim investasi cenderung mengarah ke investasi ”kapital yang tak sabar”, yang menginginkan uang segera kembali dengan keuntungan besar, tentu saja mengubah semua institusi agar menyesuaikan diri untuk bisa menarik pemodal (Sennett, 2006:40). Kapitalisme pasar uang menggagalkan visi jangka panjang negara demi performance jangka pendek, demi sirkulasi cepat kapital di tingkat global dan transaksi ekonomi yang kian cepat (Lipovetsky, 2004:88). Institusi media juga dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan logika waktu pendek ini. Logika waktu pendek menuntut pilar-pilar institusi kapitalis menyesuaikan diri memperpendek kerangka waktu organisasi, menekankan tugas-tugas jangka pendek dan segera (Sennet, 2006:49). Pembagian kerja lebih menekankan task-oriented dari pada kerja dengan peran-peran yang sudah ditentukan. Media logika waktu pendek menghasilkan paradigma konsumerisme dan mengikuti model atau trend rayuan informasi (Charles, 2004:58).

Paradigma ini melahirkan konstruksi massa mengambang yang tidak lagi terikat dengan norma-norma, aturan main, ideologi kelompok, AD/ART, ataupun yel-yel khas kelompok. Tetapi, massa mengambang akan menjatuhkan pilihan melalui rayuan, pendekatan emosional, victim act (me’melas’kan diri untuk menarik simpati), dan kampanye hitam yang dilakukan pelaku-pelaku dunia politik. Pola masyarakat seperti ini yang sekarang cenderung mewabah dalam mentalitas konstituen sehingga pemimpin perempuan harus jeli membaca karakteristik seperti tidak terikat, konsumeris, individualis maupun cenderung apolitis. Kejelian akan menuntun penemuan teknik pendekatan yang ampuh untuk membenahi persepsi publik terhadap citra pemimpin perempuan.

Pencitraan pemimpin perempuan sangat dipengaruhi orientasi-konsumsi, yang berpijak pada pendiktean pola logika mode yang temporer. Logika mode begitu mempesona karena; pertama, yang baru itu indah; kedua, mode memberikan kemudahan dalam mendiskualifikasi sejarah; ketiga, mode memungkinkan pengakuan individu sebagai bagian dari suatu kelas. Implikasinya, bila pencitraan pemimpinan perempuan menginginkan berdampak langsung pada masyarakat, diperlukan sajian yang sensasional, kebaruan, menekankan kekhasan dan menyapa publik secara langsung.

Pencitraan

Membangun dan mempengaruhi opini publik adalah peran yang sedang dimainkan oleh media. Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara realitas, representasi, simulasi, dan hiperrealitas (Baudrillard,1981:17). Ketika seorang petinggi pemerintahan bersumpah sembari menitikkan air mata dalam sebuah rapat dengan sendirinya tayangan seberapa detik tersebut telah mempengaruhi opini publik, meski harus jujur diakui bahwa tayangan tersebut bersifat citraan simulatif semata.

Pandangan terhadap media, tidak bisa dilepaskan dari manuver kapital. Logika waktu pendek berperan besar dalam fluktuasi permodalan. Dalam tekanan dan kontrol rejim logika waktu pendek seperti ini, kontrak politik dan koalisi temporer menjadi fenomena yang kurang menarik perhatian publik. Karena, kegelisahan publik akan kondisi masa depan bermunculan menggantikan mitos keberhasilan yang didengung-dengungkan. Logika waktu bagi media menempati singgasana luar biasa, melenyapkan solidaritas karena logika pasar yang didominasi logika waktu pendek mencoba menghancurkan semua bentuk struktur kolektif yang diasumsikan menghambat pengejawantahan utopia pasar bebas.

Jean Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981:17): (1) representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas; (2) ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; (3) citra menyembunyikan bahwa tak ada realitas, kemudian citra berakting menjadi penampakannya; (4) citra tak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun, ia hanya menjadi yang menyerupai dirinya.

Model pemberitaan dengan menggunakan fase pertama citra merupakan model pemberitaan yang ’pantas’ untuk dikembangkan. Melalui pencitraan fase pertama itu bobot dan efektivitas pemimpin perempuan bukan sekedar tayangan, tetapi mencerminkan realitas. Publik mengenal citra pemimpin perempuan tidak hanya berhenti pada tataran idealisme, melainkan pengenalan yang se’ada’nya realitas. Citraan fisik berbau pola logika mode hanya akan membelenggu pengenalan publik pada citraan pemimpin perempuan secara ideal yang disertai segudang harapan perbaikan kondisi.

Media perlu diingatkan bahwa pemfokusan operasi kegiatan pada pencitraan model kapital yang tak sabar, menjadikan informasi hanya menjadi simulasi. Politisi akan kehilangan visi dan misi, terperosok dalam kekalutan menghindari tuduhan dan perselingkuhan yang minim nilai-nilai kebenaran. Janji-janji politisi didominasi oleh statemen materialisme, tanpa dasar, latar belakang, apalagi langkah konkret untuk mewujudkannya. Akibatnya, menumbuhsuburkan skeptisme masyarakat terhadap politik, termasuk di dalamnya pemimpin perempuan.

Seandainya Megawati, Meutia Hatta, Yenni Wahid, Rieke Dyah Pitaloka, Nurul Arifin, dll bisa memahami ini, kursi pemimpin perempuan tidak hanya menjadi wacana kuota melainkan sebuah kebutuhan untuk menghadirkan sentuhan pemimpin perempuan dalam ranjang politik Indonesia hari ini dan esok lusa.

Dalam momentum peringatan Hari Ibu inilah kita melakukan refleksi, bahwa pemimpin perempuan akan menemukan kesejatian posisi dan perannya sebagai ibu apabila secara cerdas mampu membaca dan mengambil ketegasan sikap dalam membangun pencitraan. Lepas dari bayang-bayang pencitraan laki-laki dan tidak terjebak dalam logika waktu pendek media massa yang timbul-tenggelam dari trend ke trend. Semoga.

************

*) Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia, Pemerhati Perempuan.

Dimuat di rubrik OPINI Harian Bhirawa Edisi 25 Desember 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun